Benarkah Perubahan Iklim Berhenti Sementara?

KOMPAS.com – Benarkah perubahan iklim berhenti untuk sementara? Data Badan Administrasi Atmosfer dan Kelautan Amerika Serikat (NOAA) mengindikasikan tidak.

NOAA mencatat bahwa tahun demi tahun, rekor bulan terpanas dan tahun terpanas sejak 1880 terus terjadi. Ini menjadi bukti bahwa pemanasan global tidak berhenti sementara.

Tahun-tahun terpanas antara lain adalah 1995, 1997, 1998, 2005, dan 2010. Sementara, bulan terpanas antara lain November 2013 serta Mei, Juli, dan Agustus 2014.

Bumi belum mencetak rekor bulan terdingin sejak Desember 1916. Namun, bulan dengan suhu melampaui rekor selalu terjadi sejak 1997.

NOAA pada Senin (20/10/2014) menyatakan, September 2014 menjadi September terpanas dalam 135 tahun. Suhu global rata-rata adalah 15,72 derajat Celsius.

Sementara, tahun 2014 bersama 1998 telah menjadi tahun dengan sembilan bulan pertama terpanas yang pernah tercatat.

Pada tahun 1998, panas disebabkan oleh adanya El Nino kuat. Pada tiga bulan terakhir pada tahun tersebut, suhu lebih rendah karena El Nino berakhir.

Sementara, tahun 2014, NOAA menyatakan bahwa El Nino belum datang namun suhu sudah tinggi. Prediksi NOAA, El Nino mungkin datang akhir tahun dan membuat suhu lebih tinggi.

Dengan data yang tersedia tahun ini, Jessica Blunden, pakar iklim NOAA, mengatakan bahwa “sangat mungkin” tahun 2014 mencetak rekor sebagai tahun terpanas.

Donald Wuebbles, pakar iklim dari University of Illinois, mengatakan, data-data itu menunjukkan bahwa perubahan iklim nyata dan tidak berhenti sementara.

“Ini adalah salah satu indikator bahwa perubahan iklim tidak berhenti dan terus menjadi isu penting yang dihadapi manusia,” kata Wuebbles seperti dikutip AP, Senin.

Wuebbles mengatakan, selama ini ada beberapa pihak yang mengatakan bahwa perubahan iklim berhenti sementara. Namun, menurut Wuebbles, semua data NOAA membantahnya.

Sumber : kompas.com

Share Button

Peran Litbang dalam Pengembangan Industri Bahan Bakar Nabati (BBN) dalam rangka Pembangunan Ketahanan Energi Nasional

Konsumsi domestik terhadap bahan bakar minyak (BBM) naik dengan pesat, hal ini terjadi akibat dari terus dipertahankannya subsidi BBM yang pada tahun 2014, diperkirakan sekitar 300triliun rupiah. Di sisi lain, kapasitas kilang domestik yang stagnan selama kurang lebih 20 tahun yang mengakibatkan impor BBM (bensin dan solar) dari tahun ke tahun terus naik.

Melihat kondisi di atas, maka perlu segera dicari sumber energi terbarukan – karena sifatnya yang bersih – untuk dapat mengganti BBM. Dan biomasa adalah satu-satunya sumber energi terbarukan yang dapat menghasilkan, atau mudah dikonversi menjadi bahan bakar cair – bahan bakar nabati (BBN) atau biofuels. Maka pengembangan dan pemanfaatan komersial BBN adalah keharusan dan merupakan pilihan yang paling tepat.

Kemiri sunan adalah salah satu tanaman potensial penghasil bioenergi jenis biodiesel. Kemiri sunan mulai berproduksi pada usia 4tahun, dan pada umur 8tahun dapat menghasilkan 15ton biji ( 6 sd 8 ton biodiese) per hektar/tahun. Kelebihan lain dari kemiri sunan adalah dapat dikembangkan pada lahan sub optimal – misalnya lahan pasca tambang timah. Akan tetapi, yang perlu dipersiapkan pada pengembangan kemiri sunan pada saat ini adalah perlu adanya kepastian harga dan pasar agar kejadian beberapa tahun yang lalu, yang dialami oleh jarak pagar, tidak terulang kembali.

fgd bbn bogor hotel salak

Para Peserta FGD “Perang Litbang dalam Pengembangan Industri Bahan Bakar Nabati dalam rangka Pembangunan Ketahanan Nasional”

Saat ini, Balitbang Kementerian Pertanian telah mengembangkan varietas unggul lokal yaitu kemiri sunan (KS) 1, KS 2, Kermindo 1 dan Kermindo 2, demikian disampaikan Syafaruddin Deden, peneliti dari Puslitbang Perkebunan dalam presentasinya dengan judul “Perkembangan dan Kesiapan Benih Kemiri Sunan (KS 1 dan KS2) dan Komoditas Lainnya untuk Mendukung Litbang Biodiesel” pada acara Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Puslitbangtek KEBTKE. Dari ke empat varietas yang diuji, yang paling potensial untuk menghasilkan biodiesel adalah Kermindo 1, dengan kemampuan menghasilkan biodiesel 37,54 kg/pohon/tahun.

Varietas unggul  Kemiri Sunan memiliki FFA dibawah 5 sehingga dapat diproses menjadi biodiesel lebih efisien dan memberikan kualitas yang memenuhi standar SNI. Tetapi, salah satu kelemahannya adalah angka iodium yang masih tinggi, yaitu kisaran 90-95  Angka Iodium yg tinggi dapat diatasi dengan pemilihan katalis. Ikatan rangkap tidak berpengaruh pada proses transesterifikasi maupun esterifikasi. Peneliti dari Balai Rekayasa Desain dan Sistem Teknologi – BPPT, Imam Paryanto, menjelaskan lebih lanjut. Dalam usaha menurunkan angka Iodium, dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain penggunaan katalis untuk reaksi trans esterifikasi yaitu menggunakan katalis basa.

Hasil inovasi litbang tentunya sangat diperlukan untuk menjadikan kemiri sunan sebagai program biodiesel nasional guna mendukung kebijakan Pemerintah dalam rangka percepatan pengembangan biodiesel dari komoditas non pangan.

Kerjasama antara stakeholder dalam pengembangan kemiri sunan sebagai BBN melalui beberapa institusi kelitbangan, tentunya diharapkan memberikan hasil yang menjanjikan. Oleh karena itu, perlu adanya sinkronisasi program yang sinergis lintas Kementerian terkait, serta dukungan berbagai pihak seperti Perguruan Tinggi, Akademisi, Industri, profesional, praktisi, Pemda dll.  MRM.

Sumber : Klik di sini

Share Button

Bibit Asli Kian Langka di Indonesia

JAKARTA, KOMPAS.com – Bibit asli tanaman lokal disebut makin langka di Indonesia. Ditengarai, bibit asli lokal semakin sulit ditemui karena maraknya pencurian oleh asing bersamaan dengan kapitalisme di bidang pertanian.

“Saya berkeliling (Indonesia) mulai 2010 hingga kini hanya menemukan 45 bibit lokal asli, dan salah satunya yang sulit saya temui hingga kini adalah tanaman seperti bumbu rempah, yang kalau di Sunda namanya wereng,” kata pemerhati tanaman lokal, Nissa Wargadipura, dalam diskusi pangan di Jakarta, Kamis (23/10/2014).

Padahal, kata Nissa, jumlah tanaman asli Indonesia ada ribuan jenis yang tersebar di pelosok Nusantara. Namun, ujar dia, sebagian besar bibit lokalnya hilang dan hanya meninggalkan bibit hibrida dalam pengembangannya.

Menurut Nissa, konsep pertanian modern yang kini dikembangkan membuat sebagian besar petani di Indonesia mengandalkan bibit hibrida yang dijual atau dikapitalisasi oleh perusahaan. Dia berpendapat, telah terjadi ketergantungan terhadap mekanisme itu.

Padahal, kata Nissa, kualitas bibit lokal sangat bagus, karena punya kemampuan beradaptasi dengan iklim Indonesia, sekaligus punya daya tahan yang bagus terhadap iklim wilayah tropis.

“Secara kualitas bibit hibrida juga bagus tetapi dalam perawatannya memerlukan biaya banyak, sementara bibit lokal sangat adaptif dan memiliki daya tahan kuat yang tak perlu biaya banyak dalam perawatannya,” papar Nissa.

Nissa kini mulai mengembangkan pertanian dengan bibit lokal di wilayah Garut, Jawa Barat. Menurut dia, pengembangan pertanian seharusnya mengedepankan tanaman dan bibit asli.

“Bibit lokal itu bisa dikembangkan dengan konsep yang sederhana, tanpa harus meracik melalui laboratorium, sehingga sangat mudah. Namun, selama ini banyak yang hilang, bisa juga dicuri oleh orang asing dan dikembangkan di sana,” lanjut Nissa.

Nissa menyebutkan, salah satu bibit lokal yang bisa dia temukan dengan susah payah adalah jenis Kacang Tunggang dan Kedelai Ireng. Dia mendapatkan kedua tanaman dari Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

“Selain itu saya juga menemukan bibit jagung merah dan sudah langka, karena bibit jagung jenis hibrida kebanyakan warnanya kuning,” kata Nissa. Karenanya, Nissa yang aktif dalam Serikat Petani Pasundan itu berharap, pemerintah mengupayakan perlindungan terhadap keberadaan bibit lokal.

sumber : kompas.com

Share Button