12 juta dolar AS untuk perlindungan satwa di Sumatera

KEHATI-TFCA, Jakarta. Pemerintah Amerika Serikat dan Pemerintah Indonesia sepakat menyediakan dana sebesar 12 juta dolar AS khususnya untuk program perlindungan harimau dan badak Sumatera termasuk pelestarian habitatnya.  Dana tersebut didapat dari kesepakatan  pengalihan dana pembayaran utang Pemerintah Indonesia pada Pemerintah AS yang akan jatuh tempo.  Sejumlah dana yang seharusnya dikembalikan kepada Pemerintah Amerika tersebut ditambahkan pada program Tropical Forest Conservation Action for Sumatra (TFCA-Sumatera) yang saat ini sedang berjalan di Sumatera  dengan skema pendanaan yang sama.

Pada acara peluncuran yang dilangsungkan di @america tadi malam (1/10), Kristen Bauer, Deputy Chief of Mission Kedubes AS menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat sama-sama menaruh perhatian besar pada perlindungan spesies terancam punah di Indonesia terutama Badak dan Harimau.   “Alasan kita berfokus pada harimau adalah karena harimau menderita akibat strategi program pembangunan yang tak terencana dan akibat perdagangan ilegal.  Perdagangan liar tidak hanya berdampak pada punahnya beraneka jenis hewan namun mengancam keamanan perbatasan, pembangunan ekonomi dan kesehatan publik” demikian ungkap Kristen Buer.

Raffles B. Panjaitan yang mewakii Sekjen Kemenhut pada acara ini menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia telah menjalankan serangkaian respons untuk perlindungan harimau Sumatera.  Sebanyak 5 proyek dengan berbagai donor  termasuk dengan negara-negara ASEAN dan Amerika Serikat telah dijalankan berupa konservasi harimau dan habitatnya baik melalui konservasi in situ maupun eks situ.

Penandatanganan komitmen konservasi satwa sebesar 12 juta dolar AS ini merupakan bagian dari paket kerjasama dari tiga perjanjian yang ditandatangani di kantor Kemenhut pada tanggal 29 September 2014 yaitu: (1) Forest Conservation Agreement (FCA) antara tiga pihak yaitu Kementerian Kehutanan yang diwakili oleh Sekditjen PHKA Novianto Bambang Wawandono, dua lembaga swap partner yaitu Conservation International Foundation yang diwakili oleh Vice President Ketut Sarjana Putra dan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) yang diwakili oleh M.S Sembiring selaku Direktur Eksekutif.  (2) Debt-for-Nature-Swap Agreement (DSA) ditandatangani oleh dua pihak yaitu Kementerian Keuangan yang diwakili oleh Dirjen Pengelolaan Utang, Robert Pakpahan dan Pemerintah AS yang diwakili oleh Duta Besar Robert Blake. (3) Swap Fee Agreement, ditandatangani oleh wakil dari Conservation International Foundation Ketut Sarjana Putra dan wakil Pemerintah Amerika Serikat, Duta Besar Robert Blake.

Tambahan dana tersebut akan disalurkan melalui hibah kepada LSM lokal. Kesepakatan ini memungkinkan kedua negara bekerja bersama melindungi, termasuk penegakan hukum bagi kejahatan terhadap satwa kunci seperti Harimau, Badak, Orangutan dan Gajah melalui intervensi kegiatan di tingkat kebijakan, tingkat bentang alam dan sosial ekonomi masyarakat.  Selain itu, sebagaimana telah dituangkan di dalam kebijakan dan prosedur penyaluran dana hibah TFCA-Sumatera, fokus kegiatan memberikan dorongan terhadap kerjasama antara masyarakat, LSM, Pemerintah dan swasta dalam pengelolaan hutan beserta keanekaragaman hayati di dalamnya.

Mengomentari FCA yang merupakan dasar pelaksanaan kegiatan di lapangan, Ketut Sarjana Putra dari Conservation International menyampaikan harapannya agar kegiatan ini dapat berkontribusi secara signifikan dalam penyelamatan spesies.  “Meneruskan kerjasama dengan KEHATI dalam konservasi hutan di tingkat lansekap, penambahan dana ini mendorong kita untuk melangkah lebih maju lagi dalam upaya penyelamatan spesies”, ujarnya.

Menurut Samedi, Direktur Program TFCA-Sumatera, salah satu upaya nyata bagi perlindungan spesies kunci di Sumatera adalah dengan mempertahankan dan membuka ruang koridor antar kawasan konservasi untuk menjamin ketersambungan antar habitat sehingga satwa dapat saling berhubungan dan terjadi transfer materi genetik serta menurunkan intensitas konflik antara satwa dan manusia.  “Luas tutupan hutan harus ditambah atau setidaknya dipertahankan untuk tidak dikonversi, penindakan terhadap perdagangan ilegal dan perburuan liar pun harus lebih efektif dilaksanakan dengan menggunakan teknologi yang lebih memadai seperti forensik” ujar Samedi menambahkan.

Ancaman seperti perburuan, fragmentasi habitat, penurunan populasi mangsa, perdagangan ilegal dan konflik dengan manusia juga  makin mengurangi jumlah harimau di alam.  Menurut Daftar Merah IUCN tahun 2008, sebanyak 51 ekor harimau Sumatera terbunuh setiap tahunnya yang mana 76% merupakan akibat perdagangan gelap. Kondisi ini diperparah dengan kebakaran hutan yang mulai marak pada bulan Agustus-September 2014, dimana sebaran 42% hotspot di Riau berada di hutan alam habitat harimau.

Keberadaan badak di Sumatera kini pun tak kalah memprihatinkan. Delapan dari 12 kantung badak yang sebelumnya teridentifikasi di Sumatera diduga kini sudah tidak ada lagi, hanya tinggal sedikit di Sumatera bagian utara dan sedikit di Sumatera bagian selatan, dan populasinya selama 21 tahun turun 82 persen, ujar Samedi yang mengutip data dari WWF Indonesia.

“Penurunan populasi badak ini sangat memprihatinkan.  Reproduksi badak di alam cukup sulit, sehingga ancaman penurunan populasi dari tekanan akibat pembukaan hutan, kebakaran hutan, perburuan liar makin memperburuk viabilitas badak di hutan”, ungkap MS. Sembiring, Direktur Eksekutif KEHATI yang dipercaya sebagai Administrator program TFCA di Indonesia ini.

Oleh karena itu dukungan dari masyarakat luas perlu terus digalang.  Penambahan dana sebesar 12 juta dollar diharapkan dapat digunakan untuk melestarikan, melindungi dan mengelola habitat yang diperlukan untuk rumah bagi satwa serta dapat digunakan untuk penyelamatan, restorasi dan peningkatan populasi dan habitat satwa liar di alam.

Sumber : klik di sini

Share Button

Soal Penetapan Hutan Adat: Pusat versus Daerah?

Pada 2 Oktober 2014, ratusan orang berkumpul di Hotel Royal Kuningan, Jakarta. Ada perwakilan masyarakat adat, Kementerian Kehutanan (Kemenhut), pemerintah daerah dari  gubernur sampai bupati, para organisasi masyarakat sipil dan peneliti. Mereka mengadakan dialog nasional mengenai penetapan wilayah adat. Ada 13 lokasi yang dipilih menjadi model penetapan wilayah adat dengan beragam kondisi.

Perkumpulan HuMa bersama berbagai organisasi daerah mengadakan kegiatan ini,  guna mendorong implementasi putusan Mahkamah Konstitusi No 35 yang menyebutkan hutan adat bukan hutan negara. Dari dialog itu, muncul beragam masukan,  sampai unek-unek terkait penetapan hutan adat ini.

Achmad Sodiki, mantan hakim konstitusi  mengatakan, pemulihan hak masyarakat adat merupakan masalah multi aspek, hingga penyelesaian perlu berbagai dengan pertimbangan dan melibatkan banyak pihak. “Melibatkan masyarakat adat, Kementerian Kehutanan, BPN, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup, sampai swasta,” katanya dalam diskusi itu.

Hutan adat, katanya, ada yang masih utuh dan yang terbebani izin-izin seperti hak guna usaha. “Apakah lahan HGU akan dihutankan kembali atau tidak, ujung keputusan seharusnya tak merugikan masyarakat  adat. Atau setidaknya, hutan adat yang hilang bisa dikompensasi dengan adil.”

Hal serupa,  kala hutan hutan negara yang dikembalikan ke adat, tidak serta merta beralih fungsi. “Masyarakat adat bisa mengambil manfaat dari hutan sekaligus menjaga kelestarian hutan,”  ucap Sodiki.

Dari Kemenhut menegaskan, penetapan hutan adat itu daerah. San Afri Awang, kepala Litbang Kemenhut mengatakan, MK 35 keputusan paling tinggi yang tak boleh ditentang siapapun. Dia menekankan agar pemerintah daerah aktif dan progresif membuat perda. “Ketika pemda diminta buat perda, jangan tunggu apa-apa lagi. Pemda segera buat perda.”

Pemerintah pusat, katanya, tak dalam kapasitas menolak itu. “Kita hanya dalam tugas jalankan MK 35.”

Tak jauh beda diungkapkan Basuki Karya Admaja, staf ahli Menteri Kehutanan bidang Keamanan Hutan. Menurut dia, Kemenhut telah mengambil langkah-langkah setelah putusan MK 35 keluar. Salah satu surat edaran menteri ke berbagai daerah menyampaikan kepada bupati dan walikota agar mendata kemungkinan  masyarakat adat di daerah mereka. Juga meminta daerah segera terbitkan peta masyarakat adat.

Saat ini, katanya, Kemenhut berkoordinasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum, BPN, Kementerian Dalam Negeri guna percepatan implementasi putusan MK ini.

“Kami perlu bersama-sama, karena masalah tanah ini kan kompleks. Misal, kalau ada usulan hutan adat, dibahas bagaimana kaitan dengan tata ruang ke Kementerian PU, tentang bagaimana status tanah BPN–Kemenhut.”

Tanggapan dari daerah beragam. Ada yang sudah mulai penyusunan perda dan ada yang mengeluhkan karena desentralisasi era otonomi masih setengah hati terutama  terkait hutan adat/wilayah adat. Walaupun nanti sudah ada perda pengakuan masyarakat adat, untuk penetapan wilayah (hutan) tetap perlu persetujuan pemerintah pusat kala terkait kawasan hutan.

Junaidi Hamsyah, Gubernur Bengkulu membeberkan kondisi di provinsi itu, sekitar 46% lebih kawasan berstatus hutan lindung dan konservasi seperti Taman Nasional Kerinci Seblat dan Taman Nasional Bukti Barisan Selatan. Di sana, katanya, banyak desa tertinggal bersentuhan langsung dengan hutan lindung, taman nasional, maupun cagar alam.  Namun, daerah tak bisa berbuat banyak karena kawasan hutan itu sebagian besar di bawah kewenangan Kemenhut.

Selama ini, ujar dia,  masyarakat adat sulit mendapatkan akses ke kawasan-kawasan hutan itu. “Mereka bukan merusak hutan. Justru investor yang datang ini yang merusak hutan, berkat izin Kemenhut. Pas kita mau bangun jalan susaaaah benar. Pas investor masuk mau ambil batubara, gampang….,” katanya.

Dia mengatakan, penyebab kerusakan hutan itu pengusaha dan berdampak kerugian ganda bagi daerah. Yakni, hutan rusak dan masyarakat sekitar hutan makin miskin. Dia tak sepaham jika ada anggapan warga sebagai perusak hutan.

“Seluas-luasnya masyarakat desa tebang paling satu sampai 10 hektar. Di Bengkulu, tak sampai lebih lima hektar. Kalau investor? Kadang-kadang kontribusi pada daerah tak ada.  Hutan rusak, masyarakat makin miskin. Dana CSR irit-irit, jalan rusak tak diperbaiki. Lalu apa yang bisa dihasilkan daerah? Regulasi pusat itu tak bisa untungkan daerah.”

Junaidi juga mengkritisi pelaksanaan desentralisasi setengah hati hingga daerah tak bisa memutuskan penuh, salah satu terkait hutan adat. “Pengakuan hukum adat, pengakuan bersyarat. Ayam dilepas, kaki diikat. Bungkus desentraliasi, tapi otonomi tak sepenuhnya demikian.” Menurut dia, desentralisasi itu seharusnya, penyerahan kekuasaan kepada daerah sesuai karakteristik daerah.

Bahkan, katanya, tak jarang kebijakan pusat malah merusak tatanan di daerah. Dia mencontohkan, aturan mengenai desa dulu, malah menghancurkan struktur yang ada di daerah. “Di Bengkulu ada marga, yang tatanan lebih harmonis. Ketika UU yang mengatur desa, mulai muncul perselisihan. Kadang-kadang kepala desa tak mengerti adat bahkan merusak adat. Kalau dulu kepala desa merangkap kepala marga.”

Untuk itu, katanya, perlu kesepahaman bersama agar mampu bersinergi dalam pengakuan hak masyarakat adat.

Di Bengkulu, kata Junaidi, guna percepatan penetapan hutan adat ini, mereka telah menandatangani kesepakatan dengan Yayasan Akar dan Perkumpulan HuMa yang disaksikan kepala desa dan tokoh adat beberapa bulan lalu.

M Shadiq Pasadigoe, Bupati Tanah Datar, Sumatera Barat, mengatakan, putusan MK 35 merupakan putusan penting karena mengubah pemahaman klasik Indonesia tentang hutan kawasan hutan dan posisi hutan adat.

Hutan, katanya, bagian kehidupan masyarakat adat dan menopang keseharian mereka sekaligus titipan bagi generasi mendatang. “Hutan adat kekayaan penting bagi masyarakat adat dalam menjamin kesejahteraan hidup.  Kami sangat mendukung pengakuan eksistensi masyarakat adat dengan menetapkan status hutan adat.”

Di Indonesia, kata Shadiq, antara satu UU dengan yang lain, bisa saling bertentangan. Jadi, mesti bisa mengambil sikap sesuai kondisi daerah. “Sekarang, di negera ini UU saling bertentangan. Kalo tak direspon tak akan ditanggapi dan akan tambah permasalahan banyak.”

Untuk itu, di Tanah Datar, yang memiliki luas 133.600 hektar dengan 70%  lebih penduduk di sektor pertanian, telah mengakui keberadaan masyarakat adat. Yakni, lewat Perda No 4 Tahun 2008 mengenai Nagari. Nagari itu, katanya, kesatuan masyarakat adat yang memiliki batas-batas tertentu. “Berwenang mengatur dan mengurus ketentuan masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat basandi syara’, basandi kitabullah. Atau berdasarkan asal usul dan adat Minangkabau yang diakui dan dihormati.”

Dia berharap, pertemuan multi pihak seperti ini bisa lebih sering agar masalah dengan Kemenhut dapat selesai dengan baik. “Agar keberadaan hutan bisa dimanfaatkan buat kesejahteraan masyarakat.”

Sarjani Abdullah, Bupati Pidie, Aceh, mengatakan,  pengelolaan hutan adat secara berkelanjutan sangat perlu karena kehidupan masyarakat sangat tergantung pada kemurahan hati alam sekitar. “Dari sawah, kebun, sungai dan laut dan lain-lain.”

Kini, katanya, masyarakat adat belum dapat mengelola alam dengan bebas. Dulu, Aceh dilanda konflik dan bencana alam tsunami membuat masyarakat adat tertindas secara sosial, politis dan ekonomis. “Belum lagi, pengelolaan sumber daya alam yang tak berpihak pada masyarakat adat. Banyak pengusaha tebang  hutan. Hutan perlu diselamatkan. Mudah-mudahan, bagaimana hutan digunakan sebaik-baiknya bagi masyarakat.”

Di Pidie, katanya,  antara satu daerah dengan daerah lain tak sama. “Jadi mereka mempunyai aturan adat sendiri terkait kearifan mereka dalam memperlakukan hutan termasuk pembagian ruang tata kelola.”

Yang jelas, katanya, manfaat hutan bagi masyarakat adat itu begitu besar, antara lain, sebagai sumber air, mencegah tanah longsor dan menjaga keberlangsungan hidup.  “Aspek ekonomi hutan sebagai sumber mata pencarian mereka. Ada rotan, madu, damar, kayu dan sesekali berburu. Aspek sosial,  hutan juga sumber obat-obatan herbal dan spiritual serta lain-lain.”

Kebaikan percepatan hutan adat

Chalid Muhammad, ketua Board Perkumpulan HuMa mengatakan, ada berbagai kebaikan kala percepatan hutan adat terlaksana.  Pertama, negara melunasi utang konstitusi  karena hak hutan adat adalah hak konstitusional yang sudah 40 tahun diingkari negara. “Negara wajib penuhi hak itu. Pengingkaran adalah kejahatan terberat.”

Kedua, bila hutan adat terealisasi, akan manjadi koreksi terhadap salah kelola hutan yang berlangsung sejak lama, sejak UU Kehutanan Tahun 1967. “Pengelolaan hutan sudah berada di jalur salah. Konflik terjadi di banyak tempat. Hampir 33.000 desa bersentuhan di kawasan hutan dan sebagian besar konflik. Hingga percepatan pengukuhan hutana adat jadi satu instrumen penting terhadap perbaikan salah kelola itu.”

Ketiga, jika hutan adat segera, akan terjadi upaya sistematis pemulihan hutan. Pemerintah, katanya, bisa memberikan insentif buat pemulihan ini. Selama ini, urusan pemulihan hutan ke korporasi. “Hasilnya gagal.” Untuk itu, penting masyarakat adat menjadi aktor utama pemulihan kawasan hutan. “Jika 5 juta hektar berikan pengelolaan pada masyarakat adat dengan insentif, dengan mekanisme tanggung jawab dan terhindar korupsi, maka hutan-hutan itu akan segera pulih.”

Keempat, penetapan hutan adat ini akan menjadi pintu masuk guna menyelesaikan konflik-konflik tenurial yang terjadi. Dengan hutan adat, katanya, akan mendorong perbaikan dan keadilan agraria. Kelima, pemerintah harus segera memulihkan nama baik masyarakat adat pada korban kriminalisasi. “Sejak UU Kehutanan, banyak masyarakat adat dipenjarakan dan lain-lain. Kalau ingin wujudkan keadilan agraria pulihkan nama baik mereka. Kalau gak, mereka akan dikenal dengan masyarakat yang lakukan kejahatan,” katanya,

Keenam, hutan adat akan mampu berkontribusi untuk pencapaian tujuh persen pertumbuhan ekonomi. Selama ini, katanya, pertumbuhan ekonomi diletakkan kepada korporasi. “Kalau 33.000 desa didekatkan dengan pasar dan modal, maka akan sejahtera. Kalau sejahtera,  tujuh persen target Presiden Jokowi akan tercapai. Asal kekuatan tak lagi pengusaha tapi masyarakat adat.”

Ketujuh, penetapan hutan adat sebagai wjud dari kesiapsiagaan dalam perubahan iklim dan bencana ekologi. “Mengapa restorasi selama ini diberikan kepada pengusaha? Mengapa gak ke masyarakat adat? Jangan ke LSM atau pengusaha. Didorong ke arah sana. Insya Allah, hutan akan selamat dan negara makin jaya.”

Sumber : Klik di sini

Share Button

Soal SDA, Pemerintah Masih Sulit Buka Data. Indikasi Apa?

Keterbukaan informasi dari pemerintah, salah satu terkait sumber daya alam, masih terbilang sulit di Indonesia, meskipun sudah ada UU Keterbukaan Informasi Publik. Tak heran, pada Mei 2014, sejumlah organisasi masyarakat sipil memprotes Kementerian Kehutanan (Kemenhut) karena tak transparan membuka data mengenai proses penetapan tata batas kawasan hutan.

Lembaga dan elemen masyarakat itu antara lain, dari Epistema Institute, HuMa, Walhi, KPA, AMAN, Silvagama, ICEL, RMI, Kontras, SetaM, Agra dan Spuba. Lalu, JPIK, LBH Semarang, Geram dan Lidah Tani. Mereka akhirnya melaporkan kesulitan data publik ini ke Komisi Informasi Pusat (KIP) namun hingga kini belum ada respon dari Kemenhut. Padahal, transparansi salah satu faktor penting dalam menjalankan perbaikan carut marut tata kelola kehutanan.

Ternyata tak hanya Kemenhut, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), terbilang sangat sulit memberikan data kepada publik. Begitu juga, pemerintah daerah dalam mengeluarkan izin-izin masih terselubung. Demikian dikatakan Abetnego Tarigan, direktur eksekutif Walhi Nasional, menyinggung masalah keterbukaan data, bertepatan dengan Hari Hak untuk Tahu pada 28 September 2014.

Dia mengatakan, Indonesia sudah memiliki UU KIP, seharusnya, membuka informasi ke publik terkait perencanaan pembangunan maupun rencana investasi yang akan berdampak pada keberlanjutan ruang kelola rakyat dan kelestarian lingkungan hidup.

Sesuai UU KIP yang keluar pada 2008, katanya, masyarakat memiliki hak atas informasi (tahu). Sedang, negara harus memenuhi hak informasi warga di seluruh kelembagaan mereka sebagai wujud pelaksanaan pemerintahan yang baik.

Jadi, kementerian-kementerian terkait pengelolaan SDA sudah semestinya menjalankan mekanisme keterbukaan informasi bagi publik sesuai amanah UU itu. “Ini sebagai bagian upaya menarik partisipasi publik luas guna penciptaan pengurusan SDA berkelanjutan,” katanya kepada Mongabay.

Sayangnya, meskipun sudah enam tahun UU itu ada, tetapi tidak semua kementerian menerapkan. “Paling susah Kementerian ESDM. Kementerian ini susah diakses mengenai kebijakan yang mereka keluarkan, selain Kemenhut.”

Bukan itu saja. Kebijakan informasi daerah gubernur dan bupati atau walikota dalam penerbitan izin juga parah. “Terselubung. Padahal keterbukaan adalah alat kontrol mencegah korupsi SDA.”

Linda Rosalina, peneliti Forest Watch Indonesia (FWI) mengatakan, tata kelola hutan yang baik (good forest governance) harus transparan. Ia juga ikut menentukan berhasil atau tidak upaya pemerintah menurunkan emisi gas rumah kaca dari sektor hutan.

Kemenhut, katanya, wajib menyediakan informasi kehutanan, terbuka dan membangun sistem dan organ layanan informasi yang baik. “Informasi merupakan pintu perbaikan tata kelola hutan,” katanya.

Analisis FWI memperlihatkan, kurun Januaria-agustus 2014, permohonan data paling banyak informasi berkaitan langsung dengan pengelolaan dan pengusahaan hutan sebesar 64%. Sayangnya, Kemenhut lebih responsif pada informasi terkait administrasi atau kelembagaan di kementerian itu daripada informasi pemanfaatan hutan tingkat tapak.

Dia menilai, Kemenhut lamban merespon bukan karena permintaan informasi terlalu banyak, lebih kepada ketidaksiapan lembaga itu. “Dari 89 informasi pemanfaatan hutan yang berimplikasi terhadap kelestarian sumberdaya hutan dan keberlangsungan hidup masyarakat adat dan lokal di sekitar hutan, kurang lebih 15% direspon baik.”

Beberapa bulan lalu, Mongabay pernah menanyakan perihal keenganan Kemenhut memberikan data, salah satu mengenai berita acara tata batas kawasan hutan. Menurut Yuyu Rahayu, direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan Direktorat Jenderal Planologi Kemenhut, kala itu, data belum bisa diberikan karena masih dalam proses. Katanya, berita acara tata batas kawasan hutan menumpuk dan sedang dikerjakan. “Nanti, kalau sudah selesai kami publish di website.”

Ketika ditegaskan, bahwa, yang menjadi tuntutan koalisi masyarakat sipil berita acara tata batas agar bisa mengetahui proses itu di Kemenhut, bukan hanya data jadi, Yuyu tak menjawab jelas.

John Fresly, wakil Ketua KIP mengatakan, pemerintah lewat instansi maupun kementerian dan lembaga wajib memberikan dan menyediakan data kepada publik.  Dalam UU itu, pemerintah wajib menyediakan data publik tetapi tak harus mengumumkan. Hingga ini menjadi celah dengan tetap menyimpan data di internal.

Sedangkan, kala publik meminta data dan tak diberi, itu sengketa dan bisa mengajukan laporan ke KIP. “Kalau mereka tak kasih, kami perintahkan. Itu kewenangan kami. Kewenangan kami pro justisia,” kata John.

Menurut dia, masih banyak lembaga pemerintah tertutup atau tak transparan karena belum siap alias pekerjaan mereka mungkin masih banyak “bolong-bolong.” Namun, dia yakin, kala lembaga pemerintah bekerja dengan akuntabel tak akan masalah dengan transparansi.  John yang pernah di KIP Jakarta, mencontohkan, Jakarta kini, tak masalah mempublish informasi. Berbeda sebelum era Gubernur dan Wakil, Jokowi-Ahok. “Era Jokowi-Ahok jauh lebih mudah dan transparan. Mereka tertib anggaran dan pekerjaan proyek mereka kasih tau aja.”

Sumber : klik di sini

Share Button