Pengelolaan Koleksi dan Pengembangan Database Mikroba Hutan Tropika Indonesia (INTROF CC- Indonesian Tropical Forest Culture Collections)

Hutan hujan tropis di Indonesia memiliki sumber kekayaan hayati yang luar biasa banyaknya, mulai dari jamur, bakteri, mikroba, dan lainnya, hingga tanaman-tanaman langka maupun tanaman yang berpotensi untuk obat. Namun yang menjadi persoalan saat ini adalah bencana alam bisa mengancam kekayaan hayati yang ada di dalam hutan tersebut. Ancaman kebakaran hutan, degradasi hutan, maupun pencurian sumber hayati harus segera dibentengi.

Hal itu yang menjadi pemikiran Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser) Kementerian Kehutanan. Bagaimana menyelamatkan kekayaan yang terkandung di dalam hutan hujan tropis Indonesia ini?

Dr. Maman Turjaman dan tim peneliti di Puskonser Kementerian Kehutanan mulai merancang riset pengumpulan data kekayaan isi hutan sejak 1995. Saat itu Puskonser belum ada. “Saat itu namanya Laboratorium Mikrobiologi Hutan. Kemudian berkembang menjadi Pusat Mikroba Hutan Tropika pada 2008. Lembaga ini memang menjadi penampung peneliti yang memiliki minat yang sama yakni mendata mikroba hutan karena khawatir bisa hilang atau punah akibat bencana alam, perambahan ataupun dicuri para peneliti asing,” terang Maman.

Sebetulnya riset di bidang pendataan mikroba telah ada di sejumlah negara riset maupun perguruan tinggi seperti UGM, IPB, LIPI namun lembaga-lembaga itu tidak fokus pada mikroba hutan.

Pada 11 April 2013 Indonesia ikut meratifikasi Protokol Nagoya. Inti dariprotokol tersebut ialah negara-negara maju harus memberikan keuntungan bagi negara-negara pemilik plasma nutfah. Jadi, intinya  pada pembagian keuntungan,” jelasnya.

Melalui Kementerian Lingkungan Hidup, agar Protokol Nagoya bisa berjalan sebagaimana yang diharapkan, setiap negara pemilik plasma nutfah harus memiliki database koleksi mikroba hutan. “Atas dasar itu kami membuat database mikroba hutan tersebut,” ungkapnya.

Puskonser membuat peta jalan database mikroba hutan dengan lahirnya Indonesian Tropical Forest Culture Collections (INTROF CC). Diakui Maman, bahwa selama ini ada pembajakan mikroba hutan dan ketergantungan besar terhadap produk-produk impor berbasis dasar mikroba. Hal ini menjadi pemicu terjadinya penurunan pendapatan masyarakat baik lokal maupun nasional.

“Pembuatan database ini, selain untuk menangkal pencurian, juga untuk menyediakan iptek hasil litbang untuk konservasi dan pemanfaatan mikroba hutan tropis. Penyediaan data informasi mikroba ini potensial untuk Bioprospeksi yang dipakai untuk bioremediasi, bioreklamasi, biohealth,bioplastic, bioenergi, dan lain-lain,” kata Maman.

INTROF CC saat ini memiliki total koleksi pada 2013 sebanyak 3400 isolat mikroba dari berbagai daerah di Indonesia, meliputi: i) mikroba pemacu pertumbuhan tanaman, antara lain bakteri penambat nitrogen, fungi mikoriza; ii) fungi penginduksi biosintesis gaharu (mayoritas merupakan genus Fusarium); iii) mikroba lignoselulolitik; dan iv) fungi Phlebiopsis sp. dan Cerrena sp. yang berpotensi sebagai pengendali hayati untuk penyakit busuk akar yang disebabkan oleh Ganoderma sp.

Koleksi-koleksi tersebut untuk memelihara koleksi kultur mikroba, dan menjaga viabilitas karakteristiknya. Setiap peneliti bisa mengakses INTROF CC untuk mengetahui apa saja yang ada di hutan-hutan Indonesia. Koleksi-koleksi akan terus bertambah seiring dengan terus dilakukannya pencarian mikroba hutan. Targetnya setiap tahun ada 300-500 koleksi jamur, mikroba dan yeast.

Beberapa koleksi yang sudah masuk dalam database INTROF CC di antaranya jamur tristaniopis merguensis Griff. Jamur tersebut tumbuh di hutan-hutan Provinsi Bangka Belitung. Jamur tersebut biasa dipakai untuk campuran masakan mewah atau dihidangkan untuk tamu agung di China.

“Harganya Rp. 1 juta hingga Rp. 2 juta per kilogram. Supaya tidak punah, jamur tersebut langsung diisolasi untuk dibudidayakan. Menariknya, jamur itu hanya hidup di kayu pelawan berwarna agak merah. Kayunya biasa dipakai untuk arang. Namun di atas jamur sering kali dijadikan sarang lebah yang menghasilkan madu pahit,” terangnya.

Saat ini sedang diteliti mikroba pada buah merah di Manokwari, Papua Barat. Selain itu juga pada kayu gaharu yang menjadi bahan minyak wangi. Pohon gaharu sengaja dibuat ‘sakit’ dengan disuntik jamur patogen ke dalam batangnya selama tiga tahun.

Patogen ini tidak berbahaya, hanya membuat pohon sakit. Dari hasil suntikan, dari batang pohon muncul resin/racun berwujud seperti jamur yang berbau wangi. Potensi pasar gaharu di pasar internasional cukup bagus. Masyarakat memanfaatkan batang gaharu itu menjadi minyak. Harga satu botol kecil berisi 100 ml mencapai Rp. 100 ribu. Minyak gaharu  ini menjadi pencampur atau pengikat bahan pembuatan minyak wangi.

Contoh lain, koleksi fungi ektomikoriza untuk pengembangan tanaman pinus yang ditanam di Ponorogo, Majenang, dan Pati dengan luas 15 hektar. Mikroba lainnya yang sudah dikembangkan pada produk makanan yakni minuman Yakult yang menggunakan mikroba Lactobacillus casei. Produk tersebut telah dijual di banyak negara. Kemudian di bidang energi ada biomassa dengan pengembangan bioethanol dengan tetap memakai jasa jasad renik.

Selain pendataan mikroba hutan, INTROF CC yang dahulu bernama FORDA CC (Forestry Research Development Agency Culture Collection) ini menjadi dokumen penting koleksi yang dimiliki Indonesia. Dokumen yang bisa diakses secara daring (online) ini bisa menambah informasi bagi peneliti, industri, maupun pemerintah. Apabila terjadi pembajakan mikrobapun bisa dilacak sehingga dapat mencegah kerugian negara.

Usaha skrining dan pengujian mikroba hutan berkaitan dengan paket-paket teknologi pemanfaatannya untuk bioprospeksi berbasis mikroba hutan sedang terus dilakukan secara terbatas, meski dengan keterbatasan fasilitas laboratorium dan anggaran biaya riset setiap tahunnya. Untuk itu diperlukan peningkatan skala prioritas riset di tingkat nasional agar akselerasi hasil-hasil riset yang fokus pada keunggulan komparatif dapat membantu pemecahan berbagai aspek kehidupan rakyat Indonesia terutama dalam menghadapi krisis energi, pangan, kesehatan, dan perbaikan lingkungan sumber daya alam di Indonesia. Riset-riset andalan kedepan yang diprioritaskan adalah riset bioenergi, bioremediasi, biofertilizer, biohealth, biofertiliser, bioplastic, dll.***

Sumber : Klik di sini

Share Button

Wapres RI: InaCC Pelopor Pengembangan Pemanfaatan Mikroba

Wakil Presiden (Wapres) Republik Indonesia (RI) Boediono mengunjungi Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong untuk meresmikan pusat depositori mikroorganisme nasional. Pusat depositori dengan nama Indonesian Culture Collection(InaCC) ini diresmikan pada Kamis pekan lalu. Selain Wapres, hadir pula Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) serta Gubernur Jawa Barat dalam acara tersebut.

Boediono menyampaikan apresiasinya terhadap langkah LIPI dan kerja keras para peneliti dalam pembangunan InaCC. “Mengingat banyaknya nilai manfaat yang bisa kita dapatkan, saya berharap ke depannya InaCC bisa menjadi pelopor pengembangan pemanfaatan mikroba,” tandasnya.

Pada kesempatan yang sama, Menristek Gusti Muhammad Hatta juga menyampaikan penghargaannya atas komitmen LIPI yang tinggi dalam pengelolaan sumber daya hayati. “Kita juga patut bangga bahwa Indonesia adalah negara yang menerima hibah dana penelitian sebesar USD 1 Milyar setiap tahun dimana kita bersaing dengan 34 negara lainnya,” ungkap Gusti.

Sejak dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 27 Mei 2007 lalu, InaCC terus berkembang dengan pesat berkat kerja sama Pemerintah Indonesia dan Jepang. Dukungan kedua pemerintah melalui program Science and Technology Research Partnership for Sustainable Development (SATREP) ini secara aktif berkontribusi dalam pembangnan InaCC.

Otoritas Ilmiah

Di sisi lain, Kepala LIPI Prof. Dr. Lukman Hakim mengatakan bahwa LIPI telah melakukan pengkoleksian mikroba sejak tahun 1960 dari berbagai lokasi di Indonesia. “Seiring dengan berjalannya waktu, perkembangan keilmuan bidang mikrobiologi menuntut adanya fasilitas yang lebih untuk menyesuaikan dengan perkembangan tersebut. Salah satunya adalah dengan pembangunan pusat koleksi mikroorganisme nasional ini,” ungkapnya.

Sebagai otoritas ilmiah pusat acuan pengelolaan sumber daya hayati nasional, LIPI memiliki tanggung jawab untuk mengawal pembangunan ilmu hayati yang adil dan selaras. Lukman berharap melalui pembangunan InaCC, maka ketersediaan mikroorganisme untuk mempercepat pemanfaatannya dapat dicapai. Hal ini tentu saja dengan memperhatikan regulasi yang selaras dengan peraturan perundang-undangan, komitmen internasional serta isu keamanan dan keselamatan.

Menurutnya, pembangunan InaCC disesuaikan untuk menopang kemajuan ilmu hayati dan bioteknologi untuk kesejahteraan manusia. “Untuk itu, kita membangun kapasitas yang berkaitan dengan identifikasi serta taksonomi mikroorganisme, karakterisasi dan preservasi yang mengacu pada standar internasional,” ungkap Lukman. Hal ini terkait manajemen koleksi serta perangkat perlengkapannya, regulasi peredaran dan dokumen-dokumen yang menyertainya.

Kedepannya, InaCC akan berperan sebagai penyedia mikroorganisme dengan kualitas yang tinggi, depositori mikroorganisme paten dan pusat referensi. Selain itu, InaCC juga akan menjalin kerja sama dengan pusat koleksi lain,menjembatani kerja sama antar penyelia, pengguna, serta sektor industri dan sebagai infrastruktur bagi pengawasan peredaran Sumber Daya Genetika. (ms)

Sumber : klik di sini

Share Button