Potensi Keanekaragaman Hayati Indonesia: Butuh Peran Pemerintah

Potensi ekonomi keanekaragaman hayati Indonesia tidak akan memberikan manfaat nyata tanpa adanya komitmen pemerintah pusat dan daerah secara menyeluruh.

Ini disampaikan pada diskusi pakar yang diselenggarakan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI), di Hotel Grand Kemang, Kamis (25/9) ini.

“Tahun depan adalah tahun pasar bebas ASEAN, kalau kita melihat keanekaragaman hayati ini hanya sebagai potensi saja jika tidak dimanfaatkan, bisa jadi orang lain yang akan menikmati hasilnya,” tegas Pengurus Yayasan KEHATI, Setijati D Sastrapradja.

Senada dengan Setijati, Ketua Gabungan Pengusaha Jamu, Charles Saerang menyatakan, “Temulawak di Semarang itu adalah temulawak terbaik tapi tidak diopeni (diperhatikan) oleh pemerintah.”

“Dari 30.000 spesies yang kita punya, baru sebagian saja yang bisa diidentifikasi,” kata CEO PT Nyonya Meeneer ini.

Potensi industri jamu bahkan bisa mencapai Rp 50 triliun (saat ini baru mencapai Rp16 triliun saja). Namun, para petani tanaman jamu justru berada pada kekuasaan tengkulak dan tidak diayomi oleh pemerintah. Selain itu, kerumitan dalam hal budidaya jamu ini di tingkat pemerintah juga menjadi penghalang produk asli Indonesia itu untuk menjadi tuan rumah di negaranya sendiri.

“Tidak jelas kementerian siapa yang menangani, dan ternyata ada 20 kementerian yang menangani jamu,” tambahnya.

Hal yang sama juga dirasakan oleh Diah Kencana dari Universitas Udayana dalam usahanya untuk mengembangkan bambu tabah. Bertahun-tahun dia berusaha untuk membudidayakan kembali bambu tabah, bambu asli Tabanan, Bali, yang sudah hampir punah. Bambu ini memiliki rebung yang sangat berguna dan menjadi tanaman konservasi di lahan kritis.

Dari hasilnya mengolah bambu bersama masyarakat sekitar, tanaman lokal tersebut mampu memberikan pendapatan tambahan bagi masyarakat. Meskipun demikian, Diah masih khawatir dengan ketidakpastian di sektor kebijakan.

“Kebijakan pemerintah ini penting sekali. Tapi setiap ganti Bupati pasti ganti kebijakan,” katanya. Hal ini tentu menyulitkannya untuk mengembangkan bambu tabah yang bisa menjadi potensi bagi Bali.

Sementara itu, Prof. Dr. Achmad Subagyo dari Universitas Jember mengatakan bahwa setidaknya ada tiga kendala untuk mewujudkan potensi ekonomi keanekaragaman hayati di Indonesia. Pertama adalah persepsi atau budaya masyarakat yang masih menomor duakan potensi yang dimiliki Indonesia. Seperti singkong yang masih dianggap sebagai makanan kelas dua. Kedua adalah inovasi untuk memberikan nilai tambah. Dan ketiga, koordinasasi antarsektor untuk mengurai benang kusut yang belum terjalin baik.

Achmad juga menyebut, potensi keanekaragaman hayati bisa mulai dibangun dengan menggali warisan budaya yang ternyata banyak memanfaatkan keanekaragaman hayati di Indonesia.

sumber berita : klik di sini

Share Button

Konflik Manusia dan Satwa di Kalimantan Masih Berlanjut?

Konflik manusia dengan satwa liar yang dilindungi di Kalimantan Barat, kian memprihatinkan. Buruknya tata kelola hutan dan lahan di provinsi ini menjadi sumber utama pemicu terjadinya konflik berkepanjangan. Hal ini terungkap dalam sebuah diskusi tentang lingkungan yang digelar di Pontianak, Senin (22/9/2014).

Dalam siaran persnya, Koordinator Wilayah Mongabay Indonesia Kalimantan Barat, Andi Fachrizal mengatakan, konflik satwa tidak akan terjadi begitu saja.

“Ada persoalan besar yang turut berkontribusi menjadi pemicu konflik. Salah satunya tata kelola hutan dan lahan yang buruk,” kata Andi, Senin 922/9/2014).

Diskusi yang diikuti perwakilan Dinas Kehutanan Kalbar, BKSDA Kalbar, LSM, jurnalis, dan mahasiswa ini berlangsung alot. Pembahasan mengerucut ke faktor penyebab terjadinya konflik.

“Kita sudah bisa pastikan bahwa konflik manusia dengan satwa bersumber dari satu akar persoalan, yakni karut-marut pengelolaan hutan,” kata Aries Munandar, peserta diskusi dariMedia Indonesia.

Aries menambahkan, ketika konflik terjadi yang berujung pada kematian satwa seperti orangutan, masyarakat senantiasa berada pada posisi yang disalahkan secara hukum. Padahal, masyarakat beranggapan satwa itu mengganggu, bahkan mengancam nyawa mereka, khususnya dalam kondisi stres.

Sementara Henry OC dari Dinas Kehutanan Kalbar mengatakan, konflik satwa di Kalbar terjadi lantaran kesalahan kebijakan. Kecenderungan menyerahkan hutan lebih dominan dibandingkan upaya mempertahankan hutan.

“Itu letak masalahnya. Di sisi lain, kebutuhan manusia meningkat dan menggerus habitat satwa,” ucapnya sambil menyebut kepastian regulasi soal hutan masih abu-abu.

Saat ini, kata Henry, kekuatan Dinas Kehutanan Kalbar hanya disokong 44 Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan 115 Polisi Kehutanan (Polhut). Jumlah kekuatan personel tersebut, mereka harus mengawasi 14 juta hektar kawasan hutan di wilayah Kalbar.

“Ini angka yang tidak seimbang dan perlu upaya lain guna menekan laju konflik antara manusia dengan satwa,” ucapnya.

Peserta lainnya, Mursyid Hidayat dari Lembaga Gemawan menegaskan bahwa buruknya manajemen pemberian izin perkebunan kelapa sawit adalah faktor utama pemicu konflik antara manusia dengan satwa. “Ada 400.000 hektar kawasan hutan yang diputihkan melalui SK 936,” jelas Hidayat.

Bertitik tolak dari kenyataan itu, dia minta ada evaluasi izin perkebunan kelapa sawit terlebih dahulu. Sebab, konversi hutan dan lahan menjadi perkebunan sawit inilah yang menjadi salah satu akar permasalahan terjadinya konflik manusia dan satwa.

“Pengusaha sudah diberi izin, tapi tidak melaksanakan amanat itu sesuai izin yang dikantonginya. Hanya beberapa perusahaan sawit saja yang melaksanakan sesuai izin,” jelasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Hermawansyah dari Swandiri Institut berpendapat perlu proteksi kebijakan agar konflik seperti ini tak perlu berulang.

“Sampai sekarang belum ada data yang pasti berapa luasan jelajah orangutan dalam satu kawasan. Padahal, data itu bisa membantu mencegah terjadinya konflik. Apalagi, dari draft RTRW Kalbar belum mengakomodir kebutuhan masyarakat,” jelasnya.

Hayunieta dari BKSDA Kalbar mengatakan, pihaknya sudah membentuk satuan tugas penanggulangan konflik satwa dengan manusia.

“Tapi itu juga belum sepenuhnya bisa menjamin bahwa kunci penanganan konflik akan selesai. Masih banyak kunci lain yang dibutuhkan. Dan itu, perlu kerja sama multi pihak agar mata rantai persoalan ini menemukan jawaban yang jelas,” ucapnya.

Berdasarkan data BKSDA Kalbar, selama kurun waktu Juli-September 2014, aparat sudah melakukan penyelamatan satwa lindung sebanyak 15 individu. Satwa itu terdiri dari tujuh individu orangutan, tiga buaya muara, satu buaya senyulong, satu bekantan, satu binturung, satu penyu hijau, dan satu beruang.

sumber : klik di sini

Share Button