Membuka acara Dialog 2 Mingguan Kementerian Kehutanan tentang Progress dan Kendala Pengelolaan HKI Badan Litbang Kehutanan di Ruang Rapat Utama, Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, Senin (07/07), Kepala Pushumas Kemenhut, Dr. Ir. Eka Widodo Sugiri menyampaikan citra Badan Litbang Kehutanan dari persfektif media massa, khususnya media cetak.
Disebutkan bahwa pemberitaan terkait Litbang Kehutanan periode Mei – awal Juni berjumlah 43 atau sekitar 1% dari 4041 pemberitaan di Kementerian Kehutanan. Pemberitaan tersebut terdiri dari 28 (65%) sentimen isu positif, 14 (33%) netral, dan 1 (2%) negatif.
Lebih lanjut Eka Sugiri menyampaikan analisis dari masing-masing sentimen isu. Isu positif, kata Eka berkaitan dengan KPH. “Litbang (Kehutanan) mendorong KPH dengan Iptek, baik dasar maupun terapan, konfergensi kegiatan (project-projecthasil litbang), gelar Iptek, rencana kelola dan transpormasi KPH menjadi Badan Layanan Umum Daerah serta konfergensi hasil iptek di KPH,” jelas Eka Sugiri.
Sementara, sentimen negatif kata Eka Sugiri berkaitan dengan isu mangrove, mangrove masih isu pinggiran, deforestasi dan degradasi yang berdampak terhadap pelepasan karbon. Termasuk tumpang tindih kelola antara Kemenhut dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga menjadi sentimen negatif.
Menganalisis isu tersebut, Eka Sugiri mengatakan bahwa sudah ada kesepakatan dengan Bappenas bahwa pada 2015 pembagian peran antara KKP dan Kemenhut: di dalam kawasan akan ditangani oleh Kehutanan dan di luar kawasan akan ditangani oleh KKP.
“Problemnya adalah bagaimana dukungan Iptek untuk bisa masuk dalam isu mangrove ini karena sekarang deforestasi dan degradasi banyak diberitakan,” ungkap Eka yang berharap penjelasan Kepala Badan terkait Iptek dapat membuka wawasan bahwa kontribusi litbang untuk pemerintahan sudah jauh ke depan dan bisa terus didorong untuk maju.
“Diskusi ini diharapkan dapat menyebarluaskan hasil yang telah diperoleh Badan Litbang Kehutanan dan kita bangun koordinasi serta mendapat masukan dan catatan-catatan penting dan strategis dari para wartawan,” tambah Eka.
Menanggapi masih minimnya pemberitaan tentang Litbang Kehutanan di media massa, Kepala Badan Litbang Kehutanan, Prof. Dr. San Afri Awang, M.Sc mengakui bahwa kekurangan Litbang sampai saat ini adalah belum pandai ‘memasarkan’ hasil-hasil litbang padahal hasil-hasil penelitian yang telah masuk ke jurnal nasional maupun jurnal internasional sudah banyak. Demikian juga hasil-hasil penelitian yang siap diterapkan kepada pengguna.
“Puslit (Pusat Litbang) masing-masing punya jurnal, kalau bicara jurnal, Litbang kaya sekali, baik nasional dan internasional. Hanya saja, karena ini media massa harian, di situlah sedikit kekurangannya, Litbang belum pandai memasarkan hasil-hasil litbangnya,” jelas Prof. San di depan media massa yang hadir pada kesempatan itu, di antaranya Kompas, Jurnal Nasional, Harian Nasional, Analisa Indonesia, Agro Indonesia dan TVRI.
“Belum lagi, berita itu ‘seksi’ apa tidak, itu juga jadi persoalan kalau kita ke media,” kata Prof. San sambil menyatakan jika diminta, Litbang siap mempresentasikan hasil penelitiannya tiap minggu, terlepas apakah presentasi tersebut masuk media massa atau tidak.
Oleh karena itu, Menurut Prof. San satu hal yang harus segera dilakukan adalah ‘marketing’, soal bagaimana memasarkan hasil-hasil penelitian agar dipahami publik. Langkah pertama tentu saja dipahami publik dulu, setelah itu baru bagaimana itu dimanfaatkan dan digunakan.
“Kita sedang kemas Iptek-iptek yang ada sekarang. Kemas dari A sampai Z, sampai pada perhitungan nilai ekonominya. Kalau sudah, saya akan memasarkan bersama teman-teman, tidak membentuk lembaga baru tetapi kita menggunakan lembaga yang ada sekarang, eselon tiga bidang pengembangan. Lalu, kita akan bekerjasama dengan asosiasi-asosiasi user yang kaitannya membangun hutan,” kata Prof. San.
“Dengan demikian, mereka bisa langsung melihat barangnya, tidak lagi katanya katanya, kita diskusi lalu kita buat agreement,” tambah Prof. San mengajak tiga dari empat Kepala Puslitbang Kehutanan, tujuh profesor dan pejabat lainnya yang hadir pada saat itu mewakili Badan Litbang Kehutanan.
“Kalau ada pertanyaan minus Iptek di rawa gambut, kita sudah punya sebenarnya. Kalau begitu, mengapa kita sudah punya tetapi orang lain belum tahu, problem statementnya di situ,” kata Prof. San menanggapi sentimen negatif tentang minusnya Iptek tentang mangrove yang dikemukakan Kepala Pushumas.
Sebagai contoh, di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) baru-baru ini Prof. San melihat Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang sudah mampu menanam 20 hektar jelutung dan ramin yang sangat berhasil, padahal selama ini jenis tersebut termasuk sulit dibudidayakan. Bahkan sudah dikombinasikan dengan nenas dan dalam waktu dekat akan dikombinasikan dengan lidah buaya untuk diversifikasi pangan.
Selain itu, Prof. San merasa surprise karena Shorea blangeran yang ditanam di sana berumur 2,5 tahun sudah menghasilkan diameter sekitar 5 cm, jadi averagenya 2 cm/tahun, lebih tinggi dibanding riap Shorea blangeran yang pernah dilihatnya pada lahan sejuta gambut di Kapuas yang hanya 1 cm/tahun. “Jadi, gak benar kalau kita gak bisa memperbaiki gambut dalam terdegradasi, kita punya Ipteknya,” jelas Prof. San.
Untuk itu, Prof. San juga berharap agar dalam membuat policy, semua eselon 1 di Kemenhut ini bisa merujuk pada hasil-hasil penelitian dan pengembangan di Badan Litbang Kehutanan.
“Melalui jejaring universitas, kita kerjasama. Di litbang manapun, kalau komitmen terhadap litbang sebagai R&D tidak mendapat tempat yang pas, menurut saya posisi litbang selalu menjadi supporting. Yang saya khawatir, posisinya di dengar boleh, tidak didengarkan boleh,” kata Prof. San di akhir diskusi.
Hal ini terkait dengan apa yang disampaikan Kepala Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan (Puspijak), Dr. Ir. Kirsfianti Ginoga, M.Sc bahwa Litbang Kehutanan telah menghasilkan banyak policy brief dan policy paper yang telah diserahkan kepada Bina Usaha Kehutanan (BUK). Ini merupakan upaya-upaya scientific Litbang Kehutanan agar policy-policy yang dihasilkan Kemenhut bisa lebih terjustifikasi secara ilmiah sehingga hasilnya lebih bersinergi antara beberapa user, bisa termonitor dan terukur sehingga mudah diimplementasikan.
Sebelumnya, Kepala Badan Litbang Kehutanan, Prof. San selaku pembicara pada acara tersebut menyampaikan Progress dan Kendala Pengelolaan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Badan Litbang Kehutanan. Prof. san memaparkan bahwa sampai saat ini, HKI di Litbang Kehutanan terdiri atas 3 jenis, yaitu paten, hak cipta dan perlindungan varietas tanaman (PVT). Paten yang telah diperoleh ada 6 dan 18 sedang dalam proses pengajuan paten yang terdiri dari hasil penelitian terkait produk, proses, formula dan hasil rekayasa. (RH)***