Month: July 2014
Citra Badan Litbang Kehutanan dari Persfektif Media Massa
Membuka acara Dialog 2 Mingguan Kementerian Kehutanan tentang Progress dan Kendala Pengelolaan HKI Badan Litbang Kehutanan di Ruang Rapat Utama, Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, Senin (07/07), Kepala Pushumas Kemenhut, Dr. Ir. Eka Widodo Sugiri menyampaikan citra Badan Litbang Kehutanan dari persfektif media massa, khususnya media cetak.
Disebutkan bahwa pemberitaan terkait Litbang Kehutanan periode Mei – awal Juni berjumlah 43 atau sekitar 1% dari 4041 pemberitaan di Kementerian Kehutanan. Pemberitaan tersebut terdiri dari 28 (65%) sentimen isu positif, 14 (33%) netral, dan 1 (2%) negatif.
Lebih lanjut Eka Sugiri menyampaikan analisis dari masing-masing sentimen isu. Isu positif, kata Eka berkaitan dengan KPH. “Litbang (Kehutanan) mendorong KPH dengan Iptek, baik dasar maupun terapan, konfergensi kegiatan (project-projecthasil litbang), gelar Iptek, rencana kelola dan transpormasi KPH menjadi Badan Layanan Umum Daerah serta konfergensi hasil iptek di KPH,” jelas Eka Sugiri.
Sementara, sentimen negatif kata Eka Sugiri berkaitan dengan isu mangrove, mangrove masih isu pinggiran, deforestasi dan degradasi yang berdampak terhadap pelepasan karbon. Termasuk tumpang tindih kelola antara Kemenhut dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga menjadi sentimen negatif.
Menganalisis isu tersebut, Eka Sugiri mengatakan bahwa sudah ada kesepakatan dengan Bappenas bahwa pada 2015 pembagian peran antara KKP dan Kemenhut: di dalam kawasan akan ditangani oleh Kehutanan dan di luar kawasan akan ditangani oleh KKP.
“Problemnya adalah bagaimana dukungan Iptek untuk bisa masuk dalam isu mangrove ini karena sekarang deforestasi dan degradasi banyak diberitakan,” ungkap Eka yang berharap penjelasan Kepala Badan terkait Iptek dapat membuka wawasan bahwa kontribusi litbang untuk pemerintahan sudah jauh ke depan dan bisa terus didorong untuk maju.
“Diskusi ini diharapkan dapat menyebarluaskan hasil yang telah diperoleh Badan Litbang Kehutanan dan kita bangun koordinasi serta mendapat masukan dan catatan-catatan penting dan strategis dari para wartawan,” tambah Eka.
Menanggapi masih minimnya pemberitaan tentang Litbang Kehutanan di media massa, Kepala Badan Litbang Kehutanan, Prof. Dr. San Afri Awang, M.Sc mengakui bahwa kekurangan Litbang sampai saat ini adalah belum pandai ‘memasarkan’ hasil-hasil litbang padahal hasil-hasil penelitian yang telah masuk ke jurnal nasional maupun jurnal internasional sudah banyak. Demikian juga hasil-hasil penelitian yang siap diterapkan kepada pengguna.
“Puslit (Pusat Litbang) masing-masing punya jurnal, kalau bicara jurnal, Litbang kaya sekali, baik nasional dan internasional. Hanya saja, karena ini media massa harian, di situlah sedikit kekurangannya, Litbang belum pandai memasarkan hasil-hasil litbangnya,” jelas Prof. San di depan media massa yang hadir pada kesempatan itu, di antaranya Kompas, Jurnal Nasional, Harian Nasional, Analisa Indonesia, Agro Indonesia dan TVRI.
“Belum lagi, berita itu ‘seksi’ apa tidak, itu juga jadi persoalan kalau kita ke media,” kata Prof. San sambil menyatakan jika diminta, Litbang siap mempresentasikan hasil penelitiannya tiap minggu, terlepas apakah presentasi tersebut masuk media massa atau tidak.
Oleh karena itu, Menurut Prof. San satu hal yang harus segera dilakukan adalah ‘marketing’, soal bagaimana memasarkan hasil-hasil penelitian agar dipahami publik. Langkah pertama tentu saja dipahami publik dulu, setelah itu baru bagaimana itu dimanfaatkan dan digunakan.
“Kita sedang kemas Iptek-iptek yang ada sekarang. Kemas dari A sampai Z, sampai pada perhitungan nilai ekonominya. Kalau sudah, saya akan memasarkan bersama teman-teman, tidak membentuk lembaga baru tetapi kita menggunakan lembaga yang ada sekarang, eselon tiga bidang pengembangan. Lalu, kita akan bekerjasama dengan asosiasi-asosiasi user yang kaitannya membangun hutan,” kata Prof. San.
“Dengan demikian, mereka bisa langsung melihat barangnya, tidak lagi katanya katanya, kita diskusi lalu kita buat agreement,” tambah Prof. San mengajak tiga dari empat Kepala Puslitbang Kehutanan, tujuh profesor dan pejabat lainnya yang hadir pada saat itu mewakili Badan Litbang Kehutanan.
“Kalau ada pertanyaan minus Iptek di rawa gambut, kita sudah punya sebenarnya. Kalau begitu, mengapa kita sudah punya tetapi orang lain belum tahu, problem statementnya di situ,” kata Prof. San menanggapi sentimen negatif tentang minusnya Iptek tentang mangrove yang dikemukakan Kepala Pushumas.
Sebagai contoh, di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) baru-baru ini Prof. San melihat Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang sudah mampu menanam 20 hektar jelutung dan ramin yang sangat berhasil, padahal selama ini jenis tersebut termasuk sulit dibudidayakan. Bahkan sudah dikombinasikan dengan nenas dan dalam waktu dekat akan dikombinasikan dengan lidah buaya untuk diversifikasi pangan.
Selain itu, Prof. San merasa surprise karena Shorea blangeran yang ditanam di sana berumur 2,5 tahun sudah menghasilkan diameter sekitar 5 cm, jadi averagenya 2 cm/tahun, lebih tinggi dibanding riap Shorea blangeran yang pernah dilihatnya pada lahan sejuta gambut di Kapuas yang hanya 1 cm/tahun. “Jadi, gak benar kalau kita gak bisa memperbaiki gambut dalam terdegradasi, kita punya Ipteknya,” jelas Prof. San.
Untuk itu, Prof. San juga berharap agar dalam membuat policy, semua eselon 1 di Kemenhut ini bisa merujuk pada hasil-hasil penelitian dan pengembangan di Badan Litbang Kehutanan.
“Melalui jejaring universitas, kita kerjasama. Di litbang manapun, kalau komitmen terhadap litbang sebagai R&D tidak mendapat tempat yang pas, menurut saya posisi litbang selalu menjadi supporting. Yang saya khawatir, posisinya di dengar boleh, tidak didengarkan boleh,” kata Prof. San di akhir diskusi.
Hal ini terkait dengan apa yang disampaikan Kepala Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan (Puspijak), Dr. Ir. Kirsfianti Ginoga, M.Sc bahwa Litbang Kehutanan telah menghasilkan banyak policy brief dan policy paper yang telah diserahkan kepada Bina Usaha Kehutanan (BUK). Ini merupakan upaya-upaya scientific Litbang Kehutanan agar policy-policy yang dihasilkan Kemenhut bisa lebih terjustifikasi secara ilmiah sehingga hasilnya lebih bersinergi antara beberapa user, bisa termonitor dan terukur sehingga mudah diimplementasikan.
Sebelumnya, Kepala Badan Litbang Kehutanan, Prof. San selaku pembicara pada acara tersebut menyampaikan Progress dan Kendala Pengelolaan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Badan Litbang Kehutanan. Prof. san memaparkan bahwa sampai saat ini, HKI di Litbang Kehutanan terdiri atas 3 jenis, yaitu paten, hak cipta dan perlindungan varietas tanaman (PVT). Paten yang telah diperoleh ada 6 dan 18 sedang dalam proses pengajuan paten yang terdiri dari hasil penelitian terkait produk, proses, formula dan hasil rekayasa. (RH)***
Saat Majelis Hakim Kabulkan Gugatan Warga Samarinda untuk Stop Tambang
Sedari pagi Komari, istrinya Noerbaeti dan ketujuhbelas penggugat lain yang tergabung dalam Gerakan Samarinda Menggugat (GSM) telah hadir di Pengadilan Negeri Samarinda. Hari itu (16/07/2014) adalah saat penting untuk mendengarkan keputusan majelis hakim terhadap gugatan mereka kepada Walikota Samarinda, Menteri ESDM, Gubernur Kaltim, Menteri LH dan DPRD Kota Samarinda tentang persoalan tambang di kota Samarinda.
Gugatan mereka lakukan lewat mekanisme citizen lawsuit (CLS/ gugatan warga negara) merupakan yang pertama dalam persoalan lingkungan hidup di Samarinda.
Tidak hanya Komari, Chandra De Boer, akademisi Universitas Mulawarman menyatakan harapan serupa. “Kalau hasilnya, kita harapkan akan dimenangkan. Tuntutan ini adalah tuntutan tentang kebenaran dan keadilan. Kalau para Hakim punya hati nurani kita akan menang,” ungkapnya.
Menurutnya dari 14 tuntutan yang disampaikan oleh GSM, ada beberapa yang sudah atau sementara dilaksanakan oleh para pihak tergugat. Namun apa yang sudah dilakukan itu belum cukup untuk memberikan bukti yang menyakinkan bahwa pemerintah tanggap terhadap tuntutan masyarakat.
“Kalau beberapa waktu yang lalu Pemkot menutup perusahaan tambang, itu belum signifikan. Kita masih khawatir karena selalu ada proses penambahan-penambahan itu,” tandasnya.
Demikian pula koordinator GSM, Merah Johansyah menyatakan keyakinannya bahwa pengadilan akan mengabulkan gugatan yang diajukan oleh GSM. “Melihat dari fakta-fakta persidangan, dari 38 bukti tertulis yang kita berikan dan bukti audiovisual lainnya, ditambah 2 saksi korban dan saksi ahli, sejauh ini kita optimis GSM akan memenangkan gugatan ini. Majelis hakim akan mengabulkan petitum yang kita perjuangkan selama ini,” ujarnya.
Sebaliknya keyakinan pun muncul dari pihak tergugat yang diwakili oleh kuasa hukum Pemerintah Kota Samarinda, mereka optimis hakim akan memenangkan pihak tergugat atau tidak mengabulkan tuntutan dari pihak tergugat. Ansar selaku kuasa hukum pemerintah kota Samarinda menyatakan bahwa pihaknya bukti-bukti yang cukup untuk mementahkan tuntutan dari GSM.
“Eksepsi dari ahli sudah menyatakan bahwa ada syarat formil notifikasi yang tidak terpenuhi, dan juga adanya pendapat saksi ahli yang menyatakan bahwa walaupun tambang tidak ada di Samarinda, tidak ada pengaruhnya pada pemanasan global (global warming). Dalil penggugat yang sejak awal memposisikan dirinya sebagai korban dari global warming itu salah. Makanya kita yakin saja,” kata Ansar.
Sidang dimulai sekitar pukul 14.15 dipimpin ketua majelis hakim Sugeng Hiyanto, hakim anggota Hongkum Okto dan Yul Effendi serta panitera penganti Mulyadi. Pihak tergugat 2 yaitu Menteri ESDM dan pihak tergugat 4 yaitu Menteri Lingkungan Hidup tidak hadir.
Dalam pembacaan keputusannya, majelis hakim menolak keseluruhan eksepsi dari pihak tergugat yang menyatakan bahwa gugatan tidak sah, tidak memenuhi hukum formal, penggugat dianggap tidak mempunyai hak gugat, gugatan tidak lengkap dan salah alamat. Terkait dengan citizen lawsuit majelis hakim berpendapat bahwa apa yang telah dilakukan oleh penggugat melalui kuasa hukumnya telah sesuai dengan peraturan perundangan yang diatur oleh Mahkamah Agung nomor 256/2009 dan UU Kekuasaan Kehakiman.
Dalam keputusannya, majelis hakim menyatakan bahwa persoalan pemanasan global telah melanda dunia dan dapat mempengaruhi seluruh iklim dunia karena dampaknya luas. Perubahan iklim bisa saja penyebabnya lokal atau bisa saja penyebabnya ditempat lain. Perubahan iklim di Samarinda penyebabnya bukan hanya dari Samarinda melainkan juga dari seluruh dunia. Hakim juga melihat tidak berarti jika seluruh tambang di Samarinda ditutup itu tidak terlalu mempengaruhi perubahan iklim karena banyak daerah lain yang menyumbang lebih dominan emisi yang berpengaruh pada perubahan iklim.
Hakim menilai, meskipun Pemerintah kota Samarinda telah mengambil tindakan berupa penutupan tambang maupun somasi kepada beberapa perusahaan sebagaimana diminta dalam notifikasi, namun tindakan itu belum cukup. Dampak perubahan iklim telah menyebabkan perubahan intensitas hujan, curah hujan yang cukup tinggi sehingga mengakibatkan banjir dan longsor di berbagai tempat, dan berdasarkan keterangan saksi korban bahwa suhu di tempat tinggalnya berubah dan kesulitan mendapatkan air bersih karena adanya aktivitas pertambangan batubara.
Atas dasar UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, telah disebutkan bahwa kewenangan dan tugas pemerintah di tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota terkait kebijakan, norma dan standar, kinerja serta pengawasan untuk memastikan lingkungan yang baik dan sehat. Dengan alasan tersebut, majelis hakim memutuskan para tergugat dinyatakan telah lalai dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, terutama dalam menciptakan lingkungan yang baik dan sehat, serta pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Sebelum menutup persidangan, ketua majelis hakim Sugeng Hiyanto mempersilahkan baik tergugat maupun penggugat untuk menerima atau berpikir-pikir terhadap putusan sebagaimana diatur oleh perundangan.
Sorak Kemenangan
Begitu sidang ditutup, simpatisan, pendukung dan para penggugat yang hadir dalam sidang keluar ruang sidang sambil bersorak merayakan kemenangan. Senyum dan rasa haru menghiasi wajah. Ditemui di depan ruang sidang Merah Johansyah, koordinator GSM, menyampaikan kegembiraan atas putusan persidangan gugatan warga negara di Kota Samarinda.
“Kemenangan GSM adalah kemenangan warga Samarinda,” ujarnya singkat.
Sementara para penasehat hukum tergugat hanya menyatakan bahwa mereka akan pikir-pikir dan membentuk tim untuk mengaji keputusan. “Kami belum bisa memutuskan untuk menerima atau tidak,” ucapnya.
Kepala bagian Humas dan Protokol Sekretariat Kota Samarinda, Nasrulah yang dikonfirmasi Antara terkait putusan PN Samarinda juga belum bisa memberikan komentarnya. “Kami masih belum menerima salinan putusan. Akan kami pelajari terlebih dahulu baru kemudian menentukan sikap,” jelasnya.
Sumber : http://www.mongabay.co.id/2014/07/18/saat-majelis-hakim-kabulkan-gugatan-warga-samarinda-untuk-stop-tambang/
Progress dan Kendala Pengelolaan HKI Badan Litbang Kehutanan
Progress dan Kendala Pengelolaan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Badan Litbang Kehutanan merupakan topik yang diangkat dalam Dialog 2 Mingguan Kementerian Kehutanan bersama media massa nasional di Ruang Rapat Utama, Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, Senin (07/7).
Kepala Badan Litbang Kehutanan, Prof. Dr. Ir. San Afri Awang, M.Sc selaku pembicara pada acara tersebut menyampaikan HKI Badan Litbang Kehutanan sampai saat ini terdiri atas 3 jenis, yaitu paten, hak cipta dan perlindungan varietas tanaman (PVT). Paten yang telah diperoleh ada 6 dan 18 sedang dalam proses pengajuan paten yang terdiri dari hasil penelitian terkait produk, proses, formula dan hasil rekayasa.
Keenam paten tersebut, yakni alat ukur diameter ‘Wesyan’; pembuatan biodiesel dari minyak jarak pagar dengan proses esterifikasi-transesterifikasi; alat pendingin asap dan proses untuk memproduksi cuka kayu dari pembuatan arang; perekat tanin untuk produk perkayuan; rekayasa produksi gaharu; dan pemanfaatan batang sawit untuk kayu solid (paten expired).
Terkait kerjasama pemanfaatan hasil litbang, Prof. San mengatakan telah banyak dilakukan pendampingan kepada masyarakat dan pengguna, diantaranya pendampingan produksi cuka kayu kepada kelompok masyarakat di Cianjur, Pandeglang dan Toraja; kerjasama dengan UMKM untuk produksi arang dan cua kayu di Kab. Lebak, Banten; kerjasama pendampingan rekayasa produksi gaharu dengan berbagai kelompok masyarakat dan pemerintah daerah di banyak provinsi; dan pendampingan budidaya ulat sutera SULI (Sugeng dan Lincah) di Sulawesi dan Cianjur.
“Kita punya patennya, pasarnya ini yang sedang kita rumuskan, jangan sampai expired lagi patennya,” kata Prof. San yang berpandangan bahwa paten itu terkait siapa yang akan memanfaatkan lalu menggandakan, ada perhitungan atau tidak, inventornya dapat royalti atau tidak.
“Tentang itu, belum ada peraturan yang detail. Apakah ini yang menyebabkan para inventor, peneliti dan ilmuwan kurang bersemangat?,” tanya Prof. San yang berharap Kemenko Perekonomian tetap mendorong diterbitkannya Keputusan Menteri Keuangan tentang pemanfaatan royalti yang di dalamnya mencakup pembagian royalti untuk lembaga riset, pengelola HKI dan inventor.
Sementara hak cipta yang telah diperoleh Litbang Kehutanan, yakni hasil penelitian yang bersifat informasi Iptek, diantaranya berupa publikasi, alat peraga dan software neraca sumber daya hutan dengan user potensialnya adalah perencana kehutanan, peneliti dan akademisi.
“Sebetulnya banyak yang kita peroleh tentang hak cipta ini dan sangat kontekstual. Kalau ada pertanyaan minus Iptek di rawa gambut, kita sudah punya sebenarnya. Kalau begitu, mengapa kita sudah punya tetapi orang lain belum tahu, problem statementnya di situ,” kata Prof. San mengajak peserta diskusi mengapa masih saja banyak perdebatan tentang REDD padahal kita sudah punya banyak hal.
Sebagai contoh, di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) baru-baru ini Prof. San melihat Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang sudah mampu menanam 20 hektar jelutung dan ramin yang sangat berhasil, padahal selama ini jenis tersebut termasuk sulit dibudidayakan. Bahkan sudah dikombinasikan dengan nenas dan dalam waktu dekat akan dikombinasikan dengan lidah buaya untuk diversifikasi pangan.
Selain itu, Prof. San merasa surprise karena Shorea blangeran yang ditanam di sana berumur 2,5 tahun sudah menghasilkan diameter sekitar 5 cm, jadi averagenya 2 cm/tahun, lebih tinggi dibanding riap Shorea blangeran yang pernah dilihatnya pada lahan sejuta gambut di Kapuas yang hanya 1 cm/tahun.
“Jadi, gak benar kalau kita gak bisa memperbaiki gambut dalam terdegradasi, kita punya Ipteknya. Saya akan dorong ini segera dijadikan hak cipta, luar biasa menurut saya,” kata Prof. San di hadapan lebih dari 50 peserta yang berasal dari intern Kemenhut dan wartawan media cetak, televisi nasional dan media terkait, di antaranya Jurnal Nasional, Kompas, Harian Nasional, Analisa Indonesia, Agro Indonesia dan TVRI.
Untuk melihat langsung hasil penelitian itu di lapangan, Prof. San, Kepala Badan Litbanghut mengajak wartawan media cetak, khususnya Agro Indonesia yang banyak menulis tentang Litbang kapan-kapan ke Palembang.
“Ada banyak hal yang impossible, di sana menjadi possible. Saya kira ketekunan kawan-kawan peneliti luar biasa. Jadi mengenai gambut, rawa gambut atau gambut secara umum, kita akan berkontribusi. Yang penting hak ciptanya segera diselesaikan,” apresiasi Prof. San kepada para peneliti.
Terkait PVT, Litbang pernah mendaftarkan 3 jenis unggulan hasil penelitian pemuliaan tanaman, yakni Akasia mangium, Ekaliptus pelita dan Kayu putih, tetapi prosesnya terhenti. Padahal, menurut Prof. San, varietas kayu putih yang bagus sekali sudah ditemukan oleh Litbang. Dari pemuliaan yang dilakukan oleh Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) sudah bisa mengoreksi produk rendemen minyak kayu putih dan lebih tinggi dari yang ada di KPH Jogjakarta sebagai referensi kayu putih.
“Oleh karena itu, perlindungan varietas tanaman hasil penelitian akan menjadi prioritas litbang terlebih kita punya laboratorium dan SDM untuk meneliti DNA kayu di BBPBPTH Jogjakarta,” kata Prof. San.
Terkait itu, Prof. San selaku Kepala Badan Litbang Kehutanan pernah diminta Sri Sultan Hamengku Buwono X mengenalkan hasil-hasil penelitian kayu putih sekaligus mengedukasi Pemerintah Daerah Maluku Utara guna meningkatkan produktivitasnya di sana. “Untuk itu, saya sudah instruksikan ke kawan-kawan peneliti untuk segera datang ke sana. Memang kita harus kejar bola ini, jangan diam, kita harus aktif ‘memasarkan’ Iptek kita dalam arti kata pengembangan dan penerapan Iptek,” tegas Prof. San.
Dari paparannya, Prof. San mengemukakan beberapa kendala dan rencana Litbang ke depan terkait HKI, yakni peningkatan pemahaman HKI bagi peneliti; meningkatkan jumlah patent drafter; optimalisasi fungsi pengelola HKI, mengintegrasikan perencanaan perolehan HKI dengan proses perencanaan penelitian melalui sintesis RPI; mendorong intensif untuk peneliti untuk merangsang inovasi; dan meningkatkan diseminasi, promosi dan kerjasama pemanfaatan HKI.
“Karena itu saya selalu mengatakan banyak hasil-hasil riset yang tercecer, segera disatukan, ikuti proses untuk kita mendapatkan hak kekayaan intelektual itu,” tambah Prof. San yang berharap agar hasil-hasil penelitian yang sudah ada dapat dijadikan rujukan oleh eselon 1 lain di Kemenhut dalam membuat policy.
Setuju dengan itu, Ir. Wiratno, M.Sc, Direktur Bina Perhutanan Sosial, Ditjen BPDASPS yang hadir pada acara tersebut menyampaikan bahwa tantangan Litbang adalah bagaimana bisa menjadi dasar dalam membuat policy baru.
Terkait buku “Jalan Terjal Reforma Agraria di Sektor Kehutanan” yang telah dihasilkan Litbang, Wiratno berharap buku tersebut dapat dibedah karena implikasinya untuk policy-policy sangat relevan dengan perhutanan sosial.
“Saya mengapresiasi adanya Bedah Buku di Litbang dan itu menjadi proses learning organization. Knowledge buku adalah knowledge documentation. Ini penting untuk tidak mengulangi kegagalan di masa lalu,” kata Wiratno.
Di akhir acara dialog, Prof. San Afri berharap siapapun presiden terpilih ke depan dapat merealisasikan janji mereka yang mengatakan bahwa Iptek melalui litbang adalah pilar utama pembangunan sebuah bangsa dan negara. Tentu saja dengan menetapkan Iptek sebagai prioritas utama karena dengan demikian, banyak Iptek yang bisa dikembangkan.***
sumber : forda-mof.org
Seleksi CPNS 2014 Sediakan Formasi Khusus Untuk Calon Istimewa
Dalam upaya mendapatkan calon-calon pegawai aparatur yang benar-benar kompeten, pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) menyiapkan formasi khusus dalam perekrutan pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) tahun 2014. Formasi-formasi khusus ini akan segera dituangkan dalam Peraturan Menteri PAN-RB.
“Kebijakan formasi ini kita buat khusus untuk orang-orang istimewa, yang berasal dari tempat yang istimewa, sehingga tesnya pun harus istimewa,” kata Setiawan Wangsaatmaja, Deputi Bidang SDM Aparatur Kementerian PAN-RB, di Jakarta, Senin (7/7).
Menurut Setiawan, seperti halnya tahun lalu, formasi khusus disediakan untuk putra-putri terbaik dari Pegawai Tinggi Negeri, juga untuk atlet berprestasi dan pelatih bersertifikat. Formasi juga diberikan untuk putra-putri daerah peraih beasiswa yang mendapat program pendidikan gratis.
“Apabila dianggap perlu, formasi dapat ditambah dengan mengirimkan undangan, dan tesnya lebih kepada wawasan kebangsaan dan attitude,” tambah Setiawan.
Ia juga mengemukakan, program untuk daerah penanganan khusus seperti Papua, juga dapat diterapkan ke daerah penanganan khusus lainnya. Sedangkan program untuk formasi disabilitas masih tetap dilanjutkan untuk mengisi formasi seperti pranata komputer, petugas call centre, pranata humas, penyuluh sosial, dan pekerja sosial, disamping juga tidak menutup kemungkinan bagi disabel untuk melamar di formasi umum juga.
Dalam rapat yang dihadiri oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Eko Sutrisno, Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga, perwakilan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, perwakilan dari Kementerian Sosial, dan forum rektor Indonesia, juga muncul aspirasi agar dialokasikan formasi khusus untuk calon sarjana yang akan mengajar di tempat terdepan, terluar, dan tertinggal (SM3T).
“Untuk formasi-formasi yang diagendakan tersebut akan segera dituangkan dalam Peraturan Menteri PAN-RB,” kata Deputi Bidang SDM Aparatur Kementerian PAN-RB, Setiawan Wangsaatmaja.
sumber : klik di sini
Tabungan Pendidikan Rp 24 Triliun, Pemerintah Siap Biayai Beasiswa Hingga S3
Tabungan Pendidikan yang anggarannya diperoleh dari penyisihan sebagian anggaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) sejak 2010 lalu, hingga saat ini jumlahnya sudah menyentuh angka Rp 24 triliun lebih. Karena itu, pemerintah siap memberikan beasiswa bagi putra-putri Indonesia untuk melanjutkan pendidikan ke Strata 2 (S2) atau S3.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh mengatakan, tabungan yang dikelola oleh Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan (LPDP) itu disiapkan pemerintah sebagai bentuk pertanggungjawaban antar generasi. Tujuannya, untuk memastikan keberlanjutan pendidikan bagi anak bangsa hingga jenjang tertinggi.
“Cita-citanya, agar adik-adik bisa kuliah dimana saja tanpa harus mengemis biaya kuliah, karena sudah disediakan negara,” kata Mendikbud pada acara pelepasan tim olimpiade Indonesia yang akan berkompetisi di kancah internasional, Rabu (2/07), di kantor Kemdikbud.
Menurut Mendikbud, tabungan pendidikan itu juga menjadi bentuk pertanggungjawaban pemerintahan 2009-2014 ke pemerintahan berikutnya. Ia berharap, hingga 2045 dimana generasi emas memegang tampuk kepemimpinan, tabungan tersebut terus bertambah.
Adapun mengenai penggunaannya, Mendikbud menjelaskan, ada tiga skema yang disiapkan melalui dana pendidikan ini, yaitu pemberian beasiswa, yang mengambil porsi terbesar yaitu 70 persen, pembiayaan untuk penelitian kebijakan nasional, dan pembiayaan rehabilitasi infrastruktur akibat bencana.
“Untuk beasiswa dibagi dalam tiga kelompok, beasiswa presiden, beasiswa pemerintah, dan beasiswa afirmatif,” terang M. Nuh.
Ia menyebutkan, beasiswa presiden (Presidential Scholarship) merupakan beasiswa yang diberikan oleh presiden bagi calon mahasiswa yang lulus di 50 perguruan tinggi terbaik di dunia. “Siapapun presidennya, dia punya “kantong” untuk beasiswa adik-adik. Dan sudah banyak yang diterima di Oxford, Cambridge, MIT, dan lain sebagainya,” ujar Mendikbud.
Beasiwa presiden itu, kata Mendikbud, merupakan wujud bentuk kebanggaan bagi presiden, siapapun presidennya, untuk memberi beasiswa bagi anak terbaik bangsa yang akan meneruskan pendidikannya ke perguruan tinggi negara manapun. Sebaliknya, akan menjadi kebanggaan pula bagi penerima beasiswa ini karena mendapat beasiswa dari presiden.
“Kita hargai institusi presiden. Karena dia paling top (dalam pemerintahan). Dengan adanya ini anak-anak Indonesia pun bangga karena menerima beasiswa dari presiden,” kata Mendikbud.
Adapun beasiswa pemerintah, menurut Mendikbud, merupakan beasiswa yang disiapkan untuk siapa saja. Baik pegawai negeri sipil, dosen, atau siapapun yang ingin terus melanjutkan pendidikannya.
“Berbeda dengan beasiswa presiden yang harus di 50 perguruan tinggi terbaik dunia, beasiswa pemerintah relatif lebih fleksibel, bisa dimana saja,” terang M. Nuh.
Sementara beasiswa afirmatif, menurut Mendikbud, dikhususkan bagi lulusan penerima beasiswa Bidikmisi lulusan yang memenuhi syarat untuk melanjutkan ke S2 atau S3.
sumber : klik di sini