Tantangan konservasi akan semakin berat. Nampaknya konservasi akan berhasil hanya apabila menggunakan pendekatan yang realistis. Konservasi tidak boleh menjadi pemikiran yang menggantung di langit-langit, namun perlu menjadi gerakan bersama masyarakat yang terarah. Pemikiran akan memiliki daya gerak terhadap masyarakat luas jikalau dapat dipahami dan memiliki manfaat nyata. Dengan demikian bahasa konservasi juga membutuhkan bahasa yang praktis dan populis. Dalam dialektika negatif juga dapat dikatakan bahwa masyarakat luas akan tergerak apabila dampak negatif dari mengabaikan konservasi akan berakibat langsung dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Kita tahu dan sadar alangkah beranekaragamnya makhluk hidup yang diciptakan oleh Sang Maha Kuasa dan “ditempatkan” di bumi Indonesia. Negara dengan megaragam kehidupan, negara super biodiversitas, negara megabiodiversitas adalah label yang melekat dengan indah. Ya, kita adalah negara spesial, salah satu negara dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Namun pertanyaan pentingnya adalah apa yang kita lakukan dengan potensi besarnya itu?
Keragaman hayati telah memberikan manfaat langsungnya kepada umat manusia dalam nilai yang teramat besar, apalagi dengan aneka manfaat tidak langsungnya. Tanpa kehidupan hayati lain, jelas manusia tidak akan bisa bertahan. Kebutuhan akan “sandang-pangan-papan” hampir seluruhnya hanya bisa terpenuhi dari keragaman hayati yang disediakan oleh alam.
Tahun 1997 sebuah tim pernah mencoba menghitung manfaat langsung yang diberikan ekosistem secara gratis pada manusia. Hasilnya paling tidak 33 triliun US$ telah dinikmati tanpa biaya, dan ini berarti lebih dua kali lipat pendapatan domestik bruto seluruh dunia. Dengan demikian, strategi yang jelas dan realistik disertai dengan gerak cepat implementasinya adalah langkah yang harus segera diambil, di tengah potret muram kepunahan jenis di atas ambang normal yang terus membayang.
Dalam edisi Swara Samboja kali ini disajikan “Permasalahan dan upaya pengelolaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan” dengan mengulas sisi bioprospeksinya. Harapan dari bioprospeksi setelah diketahui nilai aktual dan potensial dari ragam hayati, adalah benefit nyata bagi masyarakat dan stakeholder lainnya termasuk bagi keberlanjutan keragaman hayati itu sendiri.
Swara Samboja kali ini juga mengulas tentang Ki Beusi (Pongamia pinnata L.) di Kalimantan Timur, tidak kalah menarik adalah bahasan mengenai Jarak Kepyar (Ricinus communis L.) baik tentang keragaman maupun pemanfaatannya.
Sementara itu, laporan perjalanan peneliti bisa disimak lewat catatannya tentang Hutan Kemasyarakatan di Dusun Meragun di Kalimantan Barat dan ada juga catatan tentang kehidupan Suku Tengger di Taman Nasional Brmo Tengger Semeru Jawa Timur.
Halaman Selayang Pandang Balitek KSDA mengetengahkan Pembangunan Sumber Benih yang sedang dilaksanakan oleh Balai dengan lokasi di KHDTK Samboja, yakni sumber benih jenis Ulin, Meranti, Kruing dan Kapur yang saat ini sudah tersertifikasi. Halaman Lintas Peristiwa menyajikan sebagian momen kegiatan yang dilakukan oleh Balitek KSDA. Profil inspriratif kali ini adalah Guru Besar Konservasi kelahiran Cirebon dari Institut Pertanian Bogor (IPB), yakni Prof. Dr. Hadi S. Alikodra. Salam konservasi. (NS)***
Sumber : http://www.forda-mof.org/index.php/berita/post/1629
dokumen majalah