Landscape Governance: Swasta Berpengaruh Besar

BPTKSDA (Samboja, 10/8/12)_Pertambangan swasta besar memiliki peran signifikan dalam landscape governance. Bila peran itu mampu memberikan keseimbangan antara aktivitas ekonomi dengan penjagaan lingkungan, maka akan tercipta good governance. Namun bila eksploitasi  lebih mendominasi akan mengarah pada bad governance.  Demikian salah satu kesimpulan diskusi di BALITEK KSDA Samboja  berdasar  hasil penelitian Fenneke yang dilakukan di Kalimantan Timur.

Untuk kedua kalinya Fenneke Brascamp siswa postgraduate Wageningen University, Netherlands, menyampaikan presentasinya dalam diskusi di BALITEK KSDA Samboja, yang dilaksanakan pada Jumat (10/8/2012) di Ruang Rapat Balai.  Dalam presentasi hasil penelitiannya yang bertajuk “Landscape Governance  from Private Sector Perspective: Coal Mining In East Kalimantan Indonesia”,  hadir para stakeholder terkait yakni  perwakilan dari Kaltim Prima Coal (KPC), Badan Lingkungan Hidup (BLH) Balikpapan, Konsorsium NGO Balikpapan, Perushaan tambang PT Singlurus Pratama, para peneliti dan praktisi.  Diskusi dibuka oleh Kepala Balai dan selanjutnya dimoderatori oleh peneliti Balitek KSDA Antun Puspanti, S.Hut, M.Sc.

Dalam penelitiannya Fenneke merinci empat perspektif swasta dan telah  mengelaborasinya yakni  (1) Aktor: berapa banyak pelaku atau stakeholder yang terlibat dan bagaimana mereka berinteraksi dan berkoalisi dalam proses-proses kebijakan; (2) Sumberdaya:  aktor mana yang mempunyai kompetensi, tanggung jawab, dana, keahlian dan lainnya, serta kapan mereka menggunakannnya; (3) Aturan main: aturan apa yang digunakan dalam proses-proses yang berlangsung diantara para stakeholder termasuk norma ataupun prosedur formal dalam pengambilan keputusan; dan (4)Wacana: apakah peran negara ketika persoalan lingkungan muncul, siapakah yang bertanggung jawab dalam situasi-situasi tertentu.

Dalam latar belakang konsepnya, Finneke menjelaskan kerangka berpikir yang dipakainya yakni ecological modernization theory yang membahas hubungan antara ekonomi dan lingkungan melalui proses bisnis. Selain itu juga konsep institutional isomorphism yang membahas bagaiman perusahaan merespon tekanan eksternal yang terbagi menjadi coercive isomorphism, mimetic isomorphism dan normative isomorphism.

Dalam diskusi muncul pendapat bahwa persoalan krusial di Kalimantan Timur adalah belum adanya tata ruang wilayah yang mantap yang disepakati oleh stakeholder. Bila dalam waktu dekat tata ruang wilayah ada dan disahkan, maka persoalan lanjutannya adalah tataran implementasinya.  Tumpang tindih lokasi dari aktivitas sektor yang berbasis lahan sangat masif dan mengandung potensi konflik yang besar.   Namun demikian berdasar penelitian dengan sampel tambang besar, menunjukkan ada pertambangan  yang memiliki tanggung jawab lingkungan yang  cukup besar, melalui CSR maupun  aksi lingkungan lainnya.

Pertambangan swasta besar memiliki peran signifikan dalam landscape governance. Bila peran itu mampu memberikan keseimbangan antara aktivitas ekonomi dengan penjagaan lingkungan, maka akan tercipta good governance. Namun bila eksploitasi  lebih mendominasi akan mengarah pada bad governance.  Demikian salah satu kesimpulan diskusi di BALITEK KSDA Samboja  berdasar  hasil penelitian Fenneke yang dilakukan di Kalimantan Timur.

Untuk kedua kalinya Fenneke Brascamp siswa postgraduate Wageningen University, Netherlands, menyampaikan presentasinya dalam diskusi diBALITEK KSDA Samboja, yang dilaksanakan pada hari Jumat 10 Agustus 2012 di Ruang Rapat Balai.  Dalam presentasi hasil penelitiannya yang bertajuk “Landscape Governance  from Private Sector Perspective: Coal Mining In East Kalimantan Indonesia”,  hadir para stakeholder terkait yakni  perwakilan dari Kaltim Prima Coal (KPC), Badan Lingkungan Hidup (BLH) Balikpapan, Konsorsium NGO Balikpapan, Perushaan tambang PT Singlurus Pratama, para peneliti dan praktisi.  Diskusi dibuka oleh Kepala Balai dan selanjutnya dimoderatori oleh peneliti Balitek KSDA Antun Puspanti, S.Hut, M.Sc.

Dalam penelitiannya Fenneke merinci empat perspektif swasta dan telah mengelaborasinya yakni :

  1. Aktor: berapa banyak pelaku atau stakeholder yang terlibat dan bagaimana mereka berinteraksi dan berkoalisi dalam proses-proses kebijakan;
  2. Sumberdaya: aktor mana yang mempunyai kompetensi, tanggung jawab, dana, keahlian dan lainnya, serta kapan mereka menggunakannnya;
  3. Aturan main: aturan apa yang digunakan dalam proses-proses yang berlangsung diantara para stakeholder termasuk norma ataupun prosedur formal dalam pengambilan keputusan; dan
  4. Wacana: apakah peran negara ketika persoalan lingkungan muncul, siapakah yang bertanggung jawab dalam situasi-situasi tertentu.

Dalam latar belakang konsepnya, Finneke menjelaskan kerangka berpikir yang dipakainya yakni ecological modernization theory yang membahas hubungan antara ekonomi dan lingkungan melalui proses bisnis. Selain itu juga konsep institutional isomorphism yang membahas bagaiman perusahaan merespon tekanan eksternal yang terbagi menjadi coercive isomorphism, mimetic isomorphism dan normative isomorphism.

Dalam diskusi muncul pendapat bahwa persoalan krusial di Kalimantan Timur adalah belum adanya tata ruang wilayah yang mantap yang disepakati oleh stakeholder. Bila dalam waktu dekat tata ruang wilayah ada dan disahkan, maka persoalan lanjutannya adalah tataran implementasinya.  Tumpang tindih lokasi dari aktivitas sektor yang berbasis lahan sangat masif dan mengandung potensi konflik yang besar.   Namun demikian berdasar penelitian dengan sampel tambang besar, menunjukkan ada pertambangan  yang memiliki tanggung jawab lingkungan yang  cukup besar, melalui CSR maupun  aksi lingkungan lainnya. (NS)***

Share Button