Bekantan, Strategi Konservasinya di Dalam dan di Luar Kawasan Hutan
Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb.) atau yang sering juga disebut sebagai Monyet Belanda (jantannya dicirikan dengan hidung besar menggantung) adalah satwa endemik Kalimantan yang hampir punah (endangered species). Tahun 1987 masih terdapat lebih dari 250.000 ekor, dengan 25.000 ekor diantaranya berada kawasan konservasi. Namun penurunan populasinya berlangsung cepat mencapai 50-80% selama 36-40 tahun terakhir. Untuk mencari formula penyelamatannya BALITEK KSDA Samboja mencoba membedahnya dari berbagai aspek melalui diskusi yang diselenggarakan pada hari Kamis tanggal 8 Maret 2012 bertempat di Ruang Pertemuan Balai, dengan bahasan: Bekantan, strategi konservasinya baik di dalam maupun di luar kawasan hutan.
Diskusi dimulai dengan presentasi hasil penelitian Tri Atmoko, peneliti dari BALITEK KSDA Samboja dengan judul: “Pemanfaatan Ruang oleh Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb.) pada Habitat Terisolasi di Kuala Samboja, Kalimantan Timur”. Sesi presentasi, selain menyampaikan hasil penelitian juga dilakukan sharing informasi tentang bekantan secara umum, meliputi: state of the art, kehidupan sosial, penyebaran, ancaman, upaya perlindungan, tingkat kerusakan habitat dan penurunan populasi bekantan.
Dalam diskusi yang dipandu oleh Ir. IGN Oka Suparta terungkap betapa mendesaknya penyelamatan terhadap satwa khas, unik dan langka ini. Diskusi yang berjalan sekitar 2 jam dan dihadiri oleh para peneliti dan teknisi menghasilkan beberapa masukan penting yaitu: (1) Upaya konservasi bekantan di areal tidak dilindungi sangat penting dilakukan, mengingat sebagian besar habitat bekantan berada di luar kawasan konservasi dengan berbagai ancaman perubahan fungsi dan fragmentasi habitat; (2) Perlu dikaji lebih dalam strategi bekantan dalam memanfaatkan tumbuhan sumber pakan pada habitat yang terganggu; (3) Terus terjadinya isolasi dan fragmentasi habitat bekantan di Kuala Samboja dan sekitarnya serta (4) Rekomendasi manfaat hasil penelitian untuk pelestarian bekantan di luar kawasan konservasi yang meliputi penunjukan kawasan lindung, sosialisasi ke masyarakat, ekowisata dan translokasi sebagai upaya penyelamatan terakhir dengan persiapan matang.
Sebagian peneliti tidak bisa mengikuti diskusi karena pada saat yang sama terdapat kunjungan Dr. David Neidel dengan para stafnya. Dr. David adalah Direktur ELTI (Environmental Leadership and Training Inititiative) Asia yang bermarkas di Singapura. ELTI adalah joint program dari Yale School of Forestry & Environmental Studies (F&ES) dan Smithsonian Tropical Research Institute (STRI). David ingin melihat langsung Herbarium BALITEK KSDA Samboja yang telah dikenal secara internasional dengan kode WAN dan selain itu juga tidak lupa berkunjung ke KHDTKnya. Dalam perbincangan informal dijajagi kemungkinan akan adanya pelatihan Taxonomi di Samboja karena semakin langkanya tenaga yang menekuni bidang taxonomi ataupun pengenalan jenis tumbuhan. Hal ini sejalan dengan keinginan Kepala Balai yang sering menekankan pentingnya kaderisasi para taxonom ataupun pengenal jenis di Indonesia, khususnya di Badan Litbang Kehutanan.